Total Tayangan Halaman

Senin, 26 Desember 2011

HUBUNGAN SYARIAT DAN FILSAFAT DALAM PERPEKTIF IBNU RUSYDI


Biografi Ibnu Rusydi; sebuah perkenalan singkat.
Abu Ya‘la al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd (1126-1198), atau yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd dan dibarat beliau terkenal dengan nama Averroes, adalah filosof Muslim Barat terbesar di abad pertengahan. Dia adalah pendiri pikiran merdeka sehingga memiliki pengaruh yang sangat tinggi di Eropa. Michael Angelo meletakkan patung khayalinya di atas atap gereja Syktien di Vatikan karena ia dipandang sebagai filosof free thinker. Dante dalam Divine Comedia-nya menyebutnya “Sang Komentator” karena dia dianggap sebagai komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles, belaiu adalah filosof yang banyak mensyarah buku-buku aristoteles.

Secara resmi, Ibn Rusyd memang diminta oleh Amir Abu Ya‘la Ya’qub Yusuf untuk menulis komentar atas berbagai karya Aristoteles, di mana untuk setiap buku dia membuat tiga kategori komentar: ringkasan (jami’), komentar singkat (talkhis) dan komentar detail (sharh atau tafsir). Yang terakhir disiapkan untuk mahasiswa tingkat tinggi.[2] Akan tetapi, untuk jangka waktu yang sangat lama, di dunia Muslim, Ibn Rusyd tidak dikenal karena komentar-komentarnya terhadap karya-karya Aristoteles, tapi karena Tahafut al-Tahafut-nya yang ditulisnya sebagai bantahan terhadap terhadap buku al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah. Komentar-komentarnya banyak berada di dunia Yahudi dan Kristen sehingga kebanyakan komentar-komentarnya tidak lagi ditemukan dalam bahasa Arab, tapi sudah dalam bentuk terjemahan bahasa Hebrew atau Latin

Ia lahir di Kota Cordova, Ibu Kota Andalusia.Kakeknya adalah seorang ahli fiqh dan ilmu hukum terkenal. Di samping menjabat sebagai imam besar di Masjid Jami’ Cordova, ia juga diangkat menjadi hakim agungn (qadi al-jama’ah). Setelah meninggal, jabatan hakim agung ini diteruskan oleh puteranya, ayah Ibn Rusyd.
Beliau banyak memberikan distribusi tehadap agama ini dari berbagai bidang, dalam bidang fikih beliau menulis buku bidayatul-mujtahid wanihayatul-Muqtashid, dalam bidang kedokteran ( al-kulliyyat fii tib ) , dalam bidang aqidah membuat ringkasan buku al-mukhtashar al-mustashfa , dalam bidang filsafat ( jawami' kutub aristoteles ) dan lain-lain.[2]

Menurut Sarton;  dia adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan. Secara garis besarnya beliau

menghubungkan Agama dan Filsafat? ِApakah bisa
jawabannya bisa, pertama-tama yang harus diketahui bahwa syariah atau agama sama-sama mengajak kebaikan dan kebenaran, demikian juga halnya filsafat yang tidak menyeruh kepada hal yang tidak bersesuaian syariah. Jadi kalau  keduanya saling mengajak kebenaran kenapa mesti untuk dipisahkan, jadi mestinya menghubungungkan antara filsafat dan agama karena posisi yang saling menguntungkan.

 ibnu rusydi berusaha meng hubungkan keduanya yaitu hubungan saling menguntungkan karena sebagaimana kita ketahui , agama adalah wahyu maka perlu pemahaman terhadap wahyu dan cara untuk memberikan pemahaman yaitu dengan penakwilan, disinilah fungsi filsafat sebagai penakwilan terhadap wahyu, lalu kekurangan filsafat tidak mampu mengkaji pada hal-hal yang metafisika ( alam ghaib ) maka disinilah ketergantungan filsafat pada wahyu yang mampu  mengabarkan hal gaib.

Cara penafsiran beliau adalah. makna yang dimunculkan dari pengetahuan suatu lafal yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riil) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat majaz (metafor) ( Fash al-Maqâl…..: 32). Takwîl yang dimaksudkan Ibn Rusyd adalah pengambilan makna esoterik atau makna substansial yang dikandung oleh teks (lafal), jadi bukan mengambil makna eksoterik atau 
makna tekstual lafal tersebut[3]
Dalam hal ini, yang perlu digarisbawahi adalah perkataan Ibn Rusyd, bahwa, “…Capaian apapun yang dihasilkan oleh metode burhan tapi bertentangan dengan makna lahir teks-teks syariat, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan menurut aturan main pentakwilan bahasa Arab yang ada.” Juga pernyataannya, bahwa “…makna lahir apapun juga yang terdapat pada teks syari’at yang secara lahiriah bertentangan dengan susatu makna yang disimpulkan oleh metode burhan kemudian makna lahir syari’at itu diteliti dan ditelaah semua bagian dan partikelnya, pada teks-teks syari’at itu sendiri akan dapat ditemukan kesimpulan-kesimpulan yang secara lahiriah mendukung adanya proses pentakwilan semacam itu, atau minimal tidak menolak.” Lanjut, Ibnu Rusyd, karena kenyataan inilah –kaum muslimin berijma’—bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk memahami lafal-lafal syari’at kepada makna lahiriah-lahiriah seluruhnya, atau mencerabut semua lafal dari makna tekstualnya[4]

Kata beliau, ringkasnya adalah tujuan kita akan menggabungkan dalil mantuq ( tertulis ) dan dalil ma'qul ( logika ). Bahkan kita bisa mengatakan, apa yang terdapat dalam wahyu  itu hanya dzohir maka disini perlunya ta'wil walaupun para ulama berbeda persepsi dalam hal takwil. Seperti asyairah yang membolehkan takwil, khususnya ayat-ayat mutasyabihat, dan kelompok hanabilah tidak mentakwil.[5] Dan Ulama pada umumnya tidak mengkafirkan golongan yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat.

Fikrah ibnu rusydi dalam konsep menghubungkan filsafat dan agama tidak jauh beda dengan filosof-filosof sebelumnya, yang menyatakan hubungan agama dan wahyu adalah wahyu dan nalar, sebagaimana dalam alqur'an berisikan kabar  yang bermacam-macam, ad kabar yang sudah terjadi dimasa lalu, ad kabar yang sedang terjadi masa sekarang, dan ada juga kabar yang belum mampu direalisasikan oleh manusia, maka filsafat berfungsi dengan menggunakan nalarnya secara tepat dan bertanggung jawab. Dan fungsi yang lainnya adalah untuk memastikan kebenaran wahyu seperti dalam masalah teologi dalam al-qur'an, karena dalam masalah ini membutuhkan analisa dan nadzar untuk lebih meyakinkan kebenarannya.
Maka oleh karena itu filsafat akan menggunakan metodeloginya yaitu; berpikir radikal, sistematis dan berpikir kritis.maksudnya berpikir radikal adalah berpikir atau mengkaji masalah  yang dimulai akar masalahnya, dan berpikir sistermatis adalah pengkajian yang berusaha menghubungkan masalah dengan masalah yang bertalian dan bentuknya teratur dan terstruktur baik, dan adapun berpikir kritis, adalah usaha penyaringan pemikiran atau pemahaman.
Kemudian ibnu rusydi memberikan benang merah kepada kita, bahwa manusia pada umumnya terbagi tiga, yaitu; orang awam ( ahli retorika), jadaly , dan mufakkir ( ahli pikir/demonstratif ).bagi orang awan tidak bisa mentakwil karena hanya melihat al-quran dari nash yang tertulis saja, danadapun pendebat hakikatnya mampu menakwilkan wahyu namun belum sampai pada level ilmu yakin, maka Yang menta'wil adalah para mufakkir atau ahli yakin[6], sebagaimana dalam alqur'an:
فاعتبروا يا أولي الابصار (الحشر: 2)
اولئك اللذين هداهم الله واولئك هم أولوااألالباب (الزمر:)
ليربروا اياته وليتذكر اولوا الالباب ( ص:29)
Qiyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir wajib mempelajari kaidah-kaidah kias dn dalil serta mempelajari ilmu logika dan falsafah. Bernalar dengan kaidah yang benar akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan agama, karena kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang.

Seperangkat ajaran yang disebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil yang lazim digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.

Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada juga yang harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah.

Adapun jika keterangan lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya. Dan jika tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan ta’wil itu adalah para filosof atau sebagian mereka, yakni orang-orang yang telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan. Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi pada orang-orang yang sudah yakin, tidak kepada selain mereka yang ampang menjadi kufur.

Agama islam kata Ibn Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti ajaran trinitas dalam agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.

Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambing atau simbolm bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya
Sekarang dalil apa lagi yangn ada minta?, justru tidak ada yang dalil berhasil untuk memisahkan filsafat dari agama yang dilakukan oleh orang-orang yang dangkal wawasannya. Dengan dalil diataslah sehingga ibnu rusydi mewajibkan memepelajari filsafaT.
Ringkasnya bahwa para filosof muslim sepakat untuk menghubungkan antara filsafat dan syariat  karena sebenarnya keduanya memiliki topik pembahasan yang sama. Dan menurut abu hayyan at-tauhidy; syariat itu ibaratnya mengobati orang sakit, dan filsafat itu ibaratnya menjaga kesehatan, ini perumpamaan yang bermaksud bahwatujuan nabi yang membawa syariah adalah mengobati orang sakit agar tidak bertambah sakitnya hingga sembuh dan adapun filosof adalah mereka yang memberikan trik-trik agar sehat dan terhindar dari penyakit[7], jadi intinya saling menguntungkan.


Bagaimana Ibnu rusydi berfilsafat?
Ibnu rusydi menggunakan manhaj burhani dalam berfilsafat. Sebagaiamana beliau pernah menyampaikan tiga manhaj pembangun kritis yang sering digunakan, yaitu; manhaj khitaby, manhaj jadaly, dan manhaj burhany. Manhaj khitaby adalah manhaj yang sering digunakan oleh jumhur yang sifatnya iqna’iy, dan manhaj jadaly adalah metodologi yang digunakan oleh para mutakallimin atau ahli ilmu kalam dan adapun manhaj burhany adalah metodology filosof dalam berfilsafat.
Tentunya Sekarang kita sudah mafhum dalil khitaby, selanjutnya apa perbedaan antara dalil jadaly dan dalil burhany? Karena terkadang kita tidak mampu membedakan bahkan menyamakan manhaj filosof dan mutakallimin, bahkan ada juga orang tidak bisa membedakan antara filosof dan mutakallimin. Maka oleh karena itu mari kita melihat titik perbedaan manhaj masing-masing, jadi dalil jadaly adalah aqlany dalam arti bahwa; dalil ini berpatokan pada undang-undang logika atau seluruh pendapat-pendapatnya diusung oleh dalil-dalil yang bisa diterima oleh akal, dan adapun manhaj burhani adalah; manhaj yang mengedepankan kebenaran tanpa mesti berjadal, karena berjadal itu akan terlihat posisi yang kalah dan posisi yang menang diantara kedua pihak[8].
Dalil burhany yang digunakan oleh filosof memakai 3 syarat; yaitu pertama; dalil dan pemikirannya harus radikal, kedua sistematis dan ketiga; harus kritis. Jadi salah yang menganggap bahwa semua kegiatan berpikir disebut berfilsafat, padahal kegiatan berfilsafat harus memenuhi ketiga syarat tersebut.
 Ibnu rusydi dalam kajiannya sering melontarkan kritik tajam kepada para sufi yang selalunya berdalil tajribah nafsiyyah  ( pengalaman pribadi )disetiap amalan-amalannya, kata ibnu rusydi; tajribah nafsiyyah itu tidak bisa dijadikan dalil atau masdar, karena tajribah nafsiyyah hanya orang-orang tertentu saja dan tidak bisa dipakai oleh semua orang islam, padahal islam adalah agama yang syumul, bisa dipakai dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun. Jadi jelas-jelas terlihat kesalahan sufi ketika bersikeras menjadikan tajribah nafsiyyah sebagai masdar.[9] Kata DR'Atif al-Iraqy, inilah landasan ibnu rusydi menghantam para sufi karena berdalilkan Dzauk ( alam rasa )  sehingga tarekatnya untuk ma'rifatullah tidak dilandasi dalil-dalil aqly ( logika), dan  masih banyak lagi pembahasan yang menjadi bantahan ibnu rusydi dalam bidang tasawwuf seperti nadzriyyat Al-Ma'rifat, Musykilat Al-Ittashal, Wujudullah, dan lain-lain, jadi beliau membantah para sufi dengan manhaj naqdi nya yaitu landasan logika.[10]
Tidak hanya itu, beliaiu juga sering melontarkan krititk tajam kepada para mutakallimin khususnya kepada asyairah dalam ilmu kalamnya, seperti dalam masalah hari kebangkitan, perdebatan para mutakallimin dalam Al-Ma'ad sangat panjang sehingga pada kesimpulannya memeberikan natijah  bahwa sebagian besar dari mereka sepakat kalau manusia akan dibangkitkan dengan jasadnya saja,  dengan dalil bahwa manusia yang sudah mati akan dibangkitkan oleh allah dengan berjasad, baik jasadnya itu adalah jasad yang  baru ataupun jasad yang pernah kita pakai didunia karena allah kuasa melakukan apa saja yang diinginkan-Nya.

Setelah perdebatan panjang oleh mutakallimin dalam masalah ini, maka datanglah ibnu rusydi
 yang berbeda persepsi dengan mereka, beliau mengatakan semua ulama sepakat bahwa ruh itu tidak hancur ketika hancurnya jasad nanti. Dan ruh akan merasakan kehidupan selanjutnya baik itu nikmat ataupun siksaan. Sehingga ibnu rusydi berdalil bahwa manusia akan dibangkitkan hanya dengan ruh saja karena topik kajian ini adalah masalah al-khulud, dan yang kekal itu hanyalah ruh, adapun mengenai keadaan kita nantinya apakah berjasad atau tidak adalah urusan tuhan, yang jelas ruh yang kita pakai sekarang akan tetap merasakan kehidupan selanjutnya dan abadi selamanya.[11]

Dalil lain yang digunakan ibnu rusydi adalah , apa yang ada didunia tidak akan ada lagi di akhirat kecuali tinggal nama saja atau persamaan nama saja tapi pada hakikatnya berbeda[12]. seperti jasmanai atau seluruhanggota tubuh, dan apa yang terdapat disana akan berbeda dengan apa yang kita pernah lihat di dunia, bahkan isteri kita terlihat lain dari yang lain,

Bagaimana Ibnu Rusydi membantah buku tahafut  Imam Al-Gazaly?
Penulis tidak bisa mencantumkan semua bab  yang menjadi bantahan ibnu rusydi terhadap buku tahafut karya imam al-gazaly namun hanya bisa menguraikan poin-poin besarnya saja.
Kata ibnu rusydi , sebnarnya imam al-gazali menghantam filsafat dengan berpatokan dalil ibnu sina, padahal ibnu sina sudah dalam filsafatnya tidak berlandaskan filsafat aristo, jadi perlu ada klarifikasi antara filsafat ibnu sina dengan filsafat aristo.maka dalil itulah yang digunakan imam algazali dalam membantah filosof yang lain hingga mengkafirkan mereka.[13]
Sekilas tentang filsafat ibnu sina, ibnu rusydi pernah menyebutkan bahwa ibnu sina belum memahamai kajian filsafat aristo selcara menyeluruh, bahkan ibnu sina sudah mencampur adukkan antara filsafat aristo dan filsafat plato.. lalu dari segi manhaj atau metodologi ibnu sina dal;am berfilsafat menggunakan manhaj jadaly seperti halnya mutakallimin.dan manhaj jadaly belum sampai derajat manhaj burhany.[14]

Pada dasarnya landasan imam al-gazali membantah filosof lainnya karena banyak berdalilkan  filsafat ibnu sina.sehingga ibnu rusydi tidak segan-segan membantah kerancuan filsafat ibnu sina demi membesar-besarkan manhaj burhani dalam memcahkan masalah filsafat.
Imam Al-Gazali megkafirkan para filosof pada tiga  pembahasan yaitu qidamul alam, khuludun-Nafsi ( bab yang berkaitan dengan hari kebangkitan ), dan pembahasan ilmu tuhan. Dalam hal ini ibnu rusydi hanya mewanti-wanti dalam membaca tahafut imam al-gazali, karena mestinya imam al-gazali merujuk kembali filsafat aristo dan lebih mendalaminya.[15]

Yang terakhir, sebagaimana kita ketahui  latar belakang imam al-gazaly seorang sufi, dan bermadzhab asyairah, maka tidak bisa dipungkiri kalau beliau meghantam filosof dengan metodologi sufiyyah dan sekaligus menggunakan undang-undang ilmu kalam bukan undang-undang filsafat.

Kesimpulan;
Ibnu rusydi adalah filosof sejati yang mampu mendudukan filsafat pada tempatnya, secara garis besarnya, bentuk kajian dan pemikiran ibnu rusydi adalah; tidak terbatas pada dzohir ayat al-quran tapi menganjurkan takwil, filsafat ibnu rusydi berkiblat pada filsafat aristoteles, dan menggunakan manhaj naqdy karena landasannya adalah dalil logika[16] , dan sebagai penutup; mudah-mudahan dalam makalah ini bermanfaat, jika ada kekurangannya dari segi subtansi , penulisan, dan lainnya mohon saran dan masukannya , semoga kita orang-orang yang dianugerahi ilmu yang luas yaitu ilmu yang menambah rasa takut pada allah swt, amin.


                                                                                                                 


                                                           



Universitas Azhar.[1] Mahasiswa kelas 4 jurusan teology dan filsafat fakultas usukuddin
[2] Abu Alwalid ibnu rusydi 2009, bidayatul-Mujtahid Wanihayatul-Muqtasid. Maktabah usrah Hlm.3 juz 1.
[3] IDR.Atif Al-Iraqy.Fashl Maqal Fima Bayn Al-Hikamh Wa-Syariah Minal-Ittishal hlm;32
[4] Ibid hlm 33
[5]  ibid
[6] DR.Atif Al-Iraqy, Al-Failusuf Ibnu Rusd.Hlm; 171
[7] Mustafa Abd.Razik , tamhid li tarikh al-falsafah al-islamiyyah.maktabah usrah hlm.87
[8] Ibnu rusydi, Minhaj Naqd fi Falsafah Ibn rusydi
[9] ibid
[10] DR.Atif Al-'Iraqy. Al-Filusuf Ibnu Rusdy.hlm.153
[11] DR.Muhammad Qamar Daulah Nashif, Dirasat Fil-Falsafah Al-Islamiyyah.hlm 293
[12]Hlm 870 juz 2 Ibnu rusydi. Tahafut tahafut
[13] DR.Atif Al-Iraqy.Alfilusuf Ibnu Rusydi,Hlm.159
[14] Ibid.Hlm.158
[15] Ibid. 181
[16] Ibid.hlm 185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar