Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 Desember 2011

APAKAH AL-QUR'AN QADIM ATAU HADIS ?

  Untuk memahami sifat Kalam ini, sangatlah penting untuk dipahami apakah maksud kalam nafsi dan kalam lafdzi. Karena dua istilah telah menimbulkan fitnah dan cobaan yang cukup dahsyat dalam sejarah Islam. Imam Ahmad bin Hanbal telah menjadi saksi sejarah k arena mempertahankan esensi  hakikat al-Quran .

 Adapun Kalam Nafsi ini ialah Kalam yang tidak berhuruf dan tidak bersuara  dari zat ALLah . Ia Qadim sebagaimana Qadimnya zat itu. Timbul pertanyaan, Jika Kalam nafsi ini tidak berhuruf dan tidak bersuara, bagaimanakah pula ia dikatakan sebagai Kalam? Bukankah Kalam itu adalahk susunan kata-kata? Inilah yang tidak dipahami oleh kebanyakan orang karena mereka tidak memahami istilah2 dalam ilmu kalam. Kalam Nafsi ini diibaratkan sebagai sesuatu yang dipikirkan(fi dzihni) yang akan diucapkan oleh kita manusia. Sebelum kita berbicara tentunya kita akan memikirkan dan menentukan di dalam kotak fikiran . Ketika ini perkara itu masih dalam pemikiran dan penentuan kita, dan belum jadi perkataan maka itulah kalam nafsy, artinya sesuatu itu masih dalam maksud yang umum yang masih dalam pengetahuan kita. 

Kemudian Kalam Nafsi pada zat ALLah Taala itu diciptakan oleh ALLah Taala sebagai huruf. Di dalam huruf-huruf Kalam itulah terkandung segala maksud dan makna ilmu ALLah Taala yang tidak terhingga dalamnya, yang tidak terjangkau oleh akal.  Dan diciptakan pula suatu yang dinamakan Luh Mahfudz yang berarti papan yang terpelihara. Firman ALLah Taala bermaksud “Bahkan ia adalah Quran yang mulia pada papan yang terjaga”. Dan kemudian  ALLah Taala menghantarkan huruf-huruf Kalam itu ke Lauh Mahfudz itu untuk disimpan. Dari Luh Mahfudz itu pula, ALLah Taala memerintahkan Malaikat Israfil mengambil maksud-maksud Kalam itu ke Baitul Izzah yakni suatu tempat yang dinamakan rumah yang mulia. Firman ALLah  bermaksud “Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Quran itu pada malam yang berkah”. Dan satu Malaikat yang dinamakan Saprah menjadikan huruf dan  maksud itu sebagai kalimaT untuk diturunkan kepada Nabi Muhammad Sallallahua alaihi wasallam dengan perantaraan Jibril secara beransur-ansur. Firman ALLah Taala bermaksud “Sesungguhnya telah Kami turunkan Quran itu pada malam Qadar”.

Kalam Lafdzi adalah Kalam yang sudah menjadi kalimat dan diturunkan kepada Nabi-Nabi itu bermula dari Malaikat Saprah menjadikan huruf dan maksud Kalam Lafdzi itu menjadi kalimah atau ayat. Itulah yang dinamakan kitab sprti al-Quran, Injil, Taurat dan Zabur. Ia hanyalah lafadz pada bahasa manusia. artinya Kalam Nafsi dibahasa Arabkan adalah al-Quran, Kalam nafsi juga dalam bahasa Ibrani dinamakan Taurat, kalau dlm bahasa Qibti dinamakan Zabur dan dalam bahasa Suryani dinamakan Injil. Penamaan kalam allah itu disesuaikan bahasa setempat,tapi semuanya bermaksud Kalam ALLah Taala.

Permasalahan selanjutnya adalah, apakah kalam allah yang berbentuk mushaf itu qadim? Ahlussunnah Waljaama’ah sepakat mengatakan al-Quran itu Qadim. Haram mengatakan al-Quran itu hadits (baru)  ,Mengapakah dikatakan al-Quran itu Qadim? Sblm saya menjawab to the point, Mungkin akan ada bantahan dari golongan muktazilah mengatakan ia hadits (baru) karena kalam allah sudah menjadi lafdzi, sedangkan kelompok lain seperti asyairah mengatakan, mushaf itu tetap Qadim karena inti al-qur’an itu adalah Kalam Nafsinya sebagaimana Qadimnya zat, titik perbedaannya adalah Asyairah membedakan antara kalam lafdzi dan kalam nafsi,sedangkan muktazilah tidak mengakui perbedaan kalam nafsi dan kalam lafdzi
Qadimnya Kalam ini  dilihat pada hakikatnya. Hakikat Kalam nafsi pada zat ALLah Taala dan lafdzi al-quran adalah sama. artinya nafsi pada zat adalah untuk hakikat sebelum di wujudkan lafdzi al-Quran. Contoh mudahnya ialah sebelum ALLah menyatakan perkataan, hakikatnya sudah ada pada zatNya iaitu nafsi. Maka lafdzi itu adalah pernyataan atau pentajallian nafsi itu. Tapi mushaf itu tidak Qadim karena mushaf adalah sebuah kitab yang terdiri dari kertas yang dijilidkan,

maka sebagai kesimpulan bahwa ayat-ayat allah yang tertulis dan tersusun dalam mushaf itu hadits (baru )karena mushaf itu bisa saja hancur, berubah warna kertasnya atau koyak (bhs malaysia nya hehe). Jadi tidak bisa dikatakan qadim karena ciri-ciri qadim itu tidak berubah,abadi,maka yang kita anggap kalam allam yang qadim adalah kalam nafsinya. Dan terakhir,bahwa  orang yang berkata al-Quran itu makhluk adalah fasik, dan belum sampai pada derajat kafir. Wallahu Musta’an.

#aku menulis permasalahan ini terkhusus buat saudaraku Muhammad Syafii Tampubolon, maka saya terbangun ditengah malam ini untuk sejenak mengukir karya. Semoga bermanfaat.

JAUHAR MENURUT SPINOZA

Jauhar yang dimaksud oleh Spinoza adalah al-jauhar allamutanahi atau jauhar yg Tak Terhingga yaitu tuhan berbeda halnya yg diketahui oleh diskartes, diskartes membagi al jauhar kepada dua macam; ada jauhar aqly dan jauhar maddy.

Gagasan-gagasan Spinoza dalam mengungkap realitas yang Absolut ini, ia banyak dipengaruhi oleh Descartes. Namun, pengaruh Descartes yang telah membentuk pola pemikirannya, tidak semuanya diamini dengan baik oleh Spinoza terutama dalam memahami jauhar.

Dalam memahami jauhari, Descartes melihat bahwa jauhar itu merupakan suatu realitas yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, Descartes melihat Allah sebagai jauhar yang tidak membutuhkan yang lain untuk berada. Tetapi, disamping jauhar sebagai realitas Absolut, Descartes menerima jauhar yang lain kendati pun jauhar yang dimaksud tidak berlaku secara Absolut melainkan relatif.

Spinoza berkomentar bahwa Descartes tidak memiliki sebuah komitmen yang akurat untuk mendefinisikan jauhar itu sendiri, karena dalam kenyataannya Descartes masih menerima adanya Substansi yang lain. 

Tetapi saya menemukan titik persamaan kedua mufakkir ini bahwa di sisi lain, Spinoza menerima gagasan yang disodorkan oleh Descartes yang mengatakan bahwa jauhar itu adalah sesuatu yang tidak membutuhkan yang lain, artinya bahwa jauhar itu adalah suatu realitas yang mandiri, otonom, utuh, satu dan tunggal.

Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam pandangan Spinoza hanya ada satu jauhar yaitu tuhan. sebelum saya menutup tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa gagasan spenoza dalam masalah ini ada kaitannya dengan wihdatul wujudnya, mungkin dilain waktu kita bahas.

MELIHAT ALLAH ?


Apakah bisa melihat allah di akhirat ?
Permasalahan ru’yatullah [ melihat allah] di akhirat adalah adalah masalah khilafiyyah , dan menurut ahli sunnah wal-jamaah bahwa ahli surga akan melihat tuhan-Nya diakhirat kelak. Dan selainnya mengatakan tidak bisa melihat-Nya dengan pemahaman dalil yang berbeda.
Kelompok ahli sunnah wal-jamaah berdalil dalam surah al-a’raf ayat 142, artinya; berkata musa; wahai tuhanku perkenangkanlah saya melihat-Mu lalu allah berkata; kamu tidak akan melihatku akan tetapi lihat lah gunung itu, jika tempatnya tetap kokoh maka kamu akan melihatku .jadi permintaan nabi musa u/ melihat tuhan_nya menunjukkan bahwa ada kemungkinan bs melihat_nya, seandainya gunung itu tidak meledak. Para ulama menafsirkan bahwa ketidaksiapan musa melihat allah sehingga masih terhalang tabir.
Adapun golongan lain yang mengingkari ru’yatullah adalah muktazilah, mereka berdalil ayat yang sama, namun mereka menafsirkan bahwa, kata “ lan” dlm bahasa arab berarti “ tidak akan “, bermakna; tidak akan  melihat alklah selamanya . lalu mereka juga menguatkan dalil nya dengan ayat lain; laa tudrikuhu al-abshara wa huwa yudrikul-absara “ kamu tidak bs melihat nya dengan pandangan matamu, dan sesungguhnya Cuma allah  yang bs melihat dengan pandangan-Nya.
Para ulama ahli sunnah membantah penafsiran muktazilah terhadap ayat ini, pada hakikatnya muktazilah menyamakan undang-undang dunia dan undang2 akhirat, sesungguhnya dalam ayat itu bermaksud bahwa kita tdk akan bisa melihat allah di dunia, tp ru’yatullah di akhirat itu bisa.  Sebagaimana ayat lain disebutkan;
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ .

Bagi mereka yang berbuat kebaikan surga dan tambahan. [Yunus : 26]
Dan tambahan yang dimaksud dalam ayat ini adalah; ru’yatullah.
Nah sekarang kita mengkaji juga, apakah allah bisa dilihat di dunia ?

Bisakah Allah dilihat di dunia?
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia. Berbeda dengan kelompok Musyabbihah(orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya), juga sebagian As’ariyah dan orang –orang Shufi, yang mengatakan bahwa Allah bisa dilihat dengan mata kepala di dunia, bahkan bisa mushafahah (berjabatan tangan) dan mulamasah (bersentuhan) dengan Allah, sebagaimana yang terdapat pada kitab Sirajut Thalibin hal.133. Mereka mengatakan: ”Orang-orang yang ikhlas akan bisa melihat, bahkan memeluk Allah di dunia dan akherat, kalau mereka menginginkan yang demikian”. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan!!.

Orang-orang Shufi menganggap bahwa ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) yang ada dalam hatinya sebagai ru’yatullah dengan mata kepala. Padahal terkadang syaitan membayang-bayanginya, dan mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan.

Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya At-Tawassul Wal Washilah hal.28 berkata: ”Terkadang seorang hamba melihat Arsy yang besar yang ada gambar, juga melihat ada orang yang naik dan turun di arsy tersebut, dan menganggapnya itu malaikat, dan menganggap gambar itu adalah Allah, padahal itu adalah syaitan. Seperti ini sering terjadi sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani, beliau bercerita: ”Suatu hari ketika saya selesai beribadah saya melihat arsy yang agung, di dalamnya ada cahaya dan ada seorang yang memanggil, “Wahai Abdul Qadir Jailani saya adalah Tuhanmu dan saya sudah menghalalkan kepadamu semua yang Aku haramkan sebelumnya.” 

Syaikh Abdul Qadir Jailani balik bertanya, apakah Engkau Allah yang tiada Tuhan selain Engkau? Hengkanglah Wahai musuh Allah!.Kemudian cahaya tadi terpencar dan berobah menjadi kegelapan kemudian keluar suara yang mengatakan, “Wahai Abdul Qadir engkau telah selamat dari tipudayaku dengan pengetahuanmu tentang agama, saya sudah berhasil memperdayakan tujuh puluh orang dengan tipu daya ini.” Ketika beliau ditanya bagaimana anda mengetahui bahwa itu adalah syaitan, ia menjawab karena dia mengatakan bahwa Allah sudah menghalalkan kepadaku semua yang diharamkan sebelumnya kepada yang lain, dan saya berpendapat bahwa syariat Muhammad tidak mungkin dirobah dan diganti”.

Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa dirinya pernah melihat Allah dengan mata kepala di dunia,beliau menjawab: “Barangsiapa di antara manusia yang mengatakan bahwa para wali atau selainnya bisa melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia maka ia adalah seorang Mubtadi’ yang menyesatkan,yang berlawanan dengan Kitab dan Sunnah dan ijma’ salaful ummah, apalagi kalau menganggap dirinya lebih afdhal dari Musa, maka dia harus disuruh taubat kalau mau,kalau dia menolak maka boleh dibunuh,wallahu A’lam. [Majmu’ fatawa VI/512]

Maka tidak boleh seseorang cepat terkecoh dengan orang yang bergelar wali atau ahli shufi.

Imam As-Syaukani dalam kitabnya Al-Wali mengingatkan: ”Tidak boleh seorang wali beranggapan bahwa semua yang terjadi padanya, berupa kejadian atau mukassyafat (pembukaan tabir) adalah semuanya karamah dari Allah, karena bisa saja semua itu datang dari syaitan, maka wajib menilai dan mengukur semua perkataan dan perbuatannya dengan Kitab dan Sunnah, kalau sesuai maka itu adalah kebenaran dan karamah dari Allah,kalau itu bertentangan dengan Kitab dan Sunnah maka hendaklah menyadari bahwa ia tertipu oleh syaitan.”

Adapun dalil jumhur yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah surat Al-A’raaf ayat 143 terdahulu. Ibnu Katsir mengatakan: ”Bahwa penafian ru’yatullah khusus di dunia, karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat di akhirat.”

2. Firman Allah dalam surat Al anam ayat 153 . Imam Ahmad dalam kitab bantahannya kepada Zanadiqah dan Jahamiyah hal.13-14, berkata: “Makna ayat ini adalah tidak ada yang bisa melihat Allah di dunia kecuali di akherat. Ibnu Khuzimah dalam kitab tauhidnya hal.185 menambahkan: “Bahwa Allah tidak bisa dicapai oleh penglihatan penduduk dunia sebelum mati”.

3. Firman Allah dalam surat Asy-Syu’ara ayat 51, yang menyatakan bahwa Allah hanya berbicara dengan para rasulNya dengan wahyu atau di balik tabir atau dengan malaikat. Kalau melihat Allah tidak bisa terjadi pada rasul-Nya, maka apalagi pada manusia yang lain.

4. Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 55, dan yang senada dengan ayat ini, yang menyatakan bahwa Bani Israil meminta Musa untuk bisa melihat Allah dengan jelas diazab oleh Allah, karena disamping mereka memintanya dengan penuh kesombongan dan penantangan, juga mereka memintanya di waktu yang tidak mungkin terjadi. Apabila kepada Nabi Musa saja tidak bisa terjadi maka apalagi kepada yang lainnya. 

Adapun Dalil Dari Sunnah
Hadits-hadits yang lewat menyebutkan bahwa Allah hanya bisa dilihat pada hari kiyamat. Itulah sebabnya pertanyaan sahabat juga memakai kata ”Apakah Allah bisa dilihat pada hari kiyamat?” dalam pertanyaannya kepada Rasulullah, seperti hadis berikut:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah,para Sahabat berkata: 

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

Ya Rasulullah! Apakah kita akan melihat Allah pada hari Kiyamat? [HR.Bukhari dan Muslim]

Riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri, para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kita akan melihat Allah pada hari kiyamat? [HR.Bukhari Muslim]

Juga hadits Rasulullah yang mengingatkan umatnya terhadap Dajjal, beliau bersabda:

مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ كَافِرٌ يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ كَاتِبٍ وَغَيْرِ كَاتِبٍ 

Sesungguhnya di antara dua mata Dajjal tertulis kata “kafir” yang bisa dibaca oleh setiap orang mukmin, yang dapat menulis, atau buta huruf.

Dan beliau berkata: ”Ketahuilah bahwasanya tidak ada seorangpun di antara kamu yang bisa melihat Tuhannya sampai dia mati. [HR.Muslim]

Di sini Rasulullah sedang berbicara dengan para sahabat bahwa mereka tidak bisa melihat Allah sampai mati ,kalau sahabat saja dikatakan oleh Nabi tidak bisa melihat Allah sebelum mati, apalagi manusia yang lain.

Apakah Rasulullah pernah melihat Allah di dunia ?
Qadhi Iyyad dalam kitabnya ”Assyifa fi ta’rifi huququl Musthafa” juz.I/119-124, menyebutkan beberapa perbedaan ulama’dalam masalah ini.

Pertama : Ibnu Abbas dan riwayat dari Ka’ab bin Malik, juga dinisbahkan kepada Anas bin Malik, Ikrimah, Hasan, Rabi’, dan juga Abu Hasan Al Asy’ari dan Qadhhi Abu Ya’la dari Hanabilah mengatakan: “Rasulullah pernah melihat Allah (Ketika menerima perintah shalat diwaktu mi’raj), mereka berhujah dengan hadits-hadits tentang ru’yah yang tidak mengkhususkan dengan mata tetapi secara mutlak (umum) seperti:

1. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Saya melihat Tuhanku”. [HR.Ahmad]

2. Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah: “Dia benar-benar dan pernah melihatnya dalam bentuk yang lain, ia berkata: “Nabi sudah melihat Allah dua kali, di Sidharatul Muntaha, kemudian diwahyukan kepadanya perintah shalat.. [HR Thurmudzi, hasan]

3. Hadits tentang Isra’ miraj Nabi, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Dhamir (kata ganti) pada kata-kata dana ( mendekat ), auha (mewahyukan ) dan raahu ( melihat ) kembali kepada Allah. Dengan demikian maka Rasulullah pernah melihat Allah.

4. Al-Haitsami dalam Majmu’ Az-zawaid juz 1 hal 79, meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Muhammad melihat Rabb-Nya dua kali, pertama dengan mata kepalanya, dan kedua dengan mata hatinya”. 

5. Beliau juga berkata: “Muhammad melihat Allah”, Ikrimah bertanya: “Apakah beliau bisa melakukannya?”, ia menjawab: “Ya, Allah menjadikan Kalam (berbicara) dengan Musa, hullah (persaudaraan) dengan Ibrahim dan An-nazhar (melihat) kepada Nabi Muhammad. Diriwayatkan juga oleh At-Thabrani di Al-Awsath, tetapi di dalamnya isnadnya ada perawi bernama Hafs bin Amru yang dilemahkan oleh Imam Nasai)

6. Imam Nawawi mengatakan, inilah pendapat yang kuat, menurut kebanyakan Ulama. Yaitu Rasulullah melihat Allah dengan mata kepalanya di malam Isra mi’raj. Sesuai dengan hadits Ibnu Abbas terdahulu. Beliau juga menyebutkan beberapa alasan penguatannya, di antaranya masalah ini termasuk masalah yang tidak dapat dicerna oleh akal. Maka apabila hadits Ibnu Abbas itu shahih, ia harus dipegang. Juga Ibnu Abbas menetapkan bisanya ru’yatullah bagi Nabi, sedangkan hadits Aisyah menafikan(meniadakan) dalam kaidah al-mutsbat muqaddamun ala annafi (penetapan lebih dahulukan dari peniadaan). Dan shahabat apabila menetapkan satu pendapat, kemudian ada shahabat yang lain yang berbeda, maka perbedaan itu tidak dijadikan hujjah.

Kedua: Rasulullah tidak pernah melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia.

Inilah pendapat yang dipegang Aisyah dan yang masyhur dari Ibn Mas’ud, Abu Hurairah, dan Abi- Dzar juga sebagian muhadditsin, fuqaha, dan mutakalimin. [Llihat Syarah Thahawiyah oleh Abi al-izzi hal 137]. 

Diantara dalil- dalilnya adalah 
1. Hadits Aisyah yang diriwayatkan Masyruq, ia berkata:

مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ 

“Barang siapa mengatakan bahwa Muhammad melihat Tuhannya, maka ia telah berdusta besar pada Allah. [HR. Bukhari Muslim]

2. Hadits Abi Dzar -yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaqiq-, dia berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ الهِ هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ 

Saya pernah bertanya kepada Rasulullah, apakah engkau telah melihat Allah”, beliau menjawab: “Cahaya yang menghalangi-ku untuk melihatNya. [HR. Muslim]

Dalam riwayatkan lain dikatakan:

رَأَيْتُ نُورًا

Saya hanya melihat cahaya. [HR. Muslim]

3. Hadits Abu Musa, di dalamnya disebutkan.

حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ 

HijabNya adalah cahaya, jika hijab itu dibuka niscaya terbakar-lah di antara makhlukNya oleh cahaya mukaNya sejauh pandangan. [HR Muslim]

Sedangkan yang pernah dilihat oleh Rasulullah adalah Jibril Aliahissallam, bukan Allah sebagaimana Hadits Abu-Hurairah dan Aisyah.

4. Hadits riwayat Abu Hurairah dalam firman Allah:

وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَى

Dan ia telah melihatnya dalam bentuk yang lain (An-Najm:13), Rasulullah mengatakan bahwa belaiu melihat Jibril. (HR. Muslim )

5. Diriwayatkan oleh Asybani, dia bertanya kepada Dzur bin Hubaysih tentang tafsir ayat 13 surat An-Najm , dia berkata: Ibn Masud memberitahukannya bahwa Nabi melihat Jibril mempunyai 600 sayap. 

Juga hadits Aisyah, ia menyatakan, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya dia adalah Jibril yang sebelumnya tidak pernah saya lihat dalam bentuk aslinya kecuali dua kali. Saya melihatnya turun dari langit yang keagungan penciptaanya memenuhi langit dan bumi.”

6. Dua hadits ini cukup untuk menjelaskan bahwa Nabi tidak pernah melihat Allah di dunia, karena kedua hadits tersebut shahih dan sharih. Berbeda dengan hadits yang dipakai pendapat pertama, haditsnya mutlak. juga seperti hadits Syuraiq masih dipertanyakan sanad maupun matan, karena Syuraiq sendiri menurut Ahlul Hadits tidak hafidz (kuat hafalannya) (Lihat Fathul- Bari juz 13, hal 484 ). Adapun tarjih (pendapat yang dianggap kuat) Imam Nawawi termasuk tarjih tanpa hujjah yang kuat dan tepat.

Ketiga : Tawaquf (tidak mengatakan Rasulullah telah melihat Allah). Ini yang dilakukan oleh Qadhi ‘Iyadh.

Sebagian Ulama mencoba untuk mempertemukan dua pendapat tersebut, dengan mengatakan bahwa orang yang meniadakan ru’yatullah maksudnya Nabi tidak melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri. Dan yang menetapkan ru’yatullah maksudnya Nabi melihat Allah dengan mata hatinya. Karena tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-sunnah yang menyatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan mata kepala beliau, dan Rasulullah sendiri tidak pernah memberitahukan kepada shahabatnya, seandainya beliau pernah melihat Allah dengan matanya niscaya akan menceritakan shahabatnya. [Lihat Majmu’Fatawa juz 6, hal 509-510). Juga tafsir Ibn Katsir juz 6, hal 452] 

Melihat Allah dengan Mata hati
Ulama sepakat bahwa Rasulullah n pernah melihat Allah dengan hatinya, berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: “Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatNya dengan hatinya” [HR.Muslim]

Abu Dzar meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Allah dengan hatinya dan tidak pernah melihatnya dengan mata kepalanya. 

Ibrahim At-Taimi meriwayatkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihatnya dengan hatinya dan tidak pernah melihat dengan matanya.

Imam Nawawi berkata: “Melihat Allah dengan hatinya adalah penglihatan yang benar, yaitu Allah menjadikan penglihatannya dihatinya atau menjadikan hatinya mempunyai penglihatan sehingga dia bisa melihat Tuhannya dengan benar, sebagaimana dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. [Syarah Shahih Muslim juz3, hal 6]. 

Adapun selain Nabi, seperti Shahabat dan tabi’in, maka salaf sepakat bisa terjadi bagi hati seorang mukmin sebuah mukasyafat (membuka tabir) dan musyahadat (persaksiaan), yang sesuai dengan keimanan dan ma’rifatullah. Karena seorang yang mencintai sesuatu akan membekas dalam hatinya dan merasa selalu dekat dalam hatinya. Sebagaimana jawaban Rasulullah tentang ihsan:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ 

Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihatNya, maka Dia melihatmu.[HSR. Bukhari, Muslim, dan lainnya-Red] 

Syaikhul Islam meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Syaikhul Islam menambahkan sesungguhnya Allah dilihat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan inilah pendapat saya, dan pendapat imam-imam kita. Berbeda dengan pendapat orang-orang yang jahil yang ada di sekitar kita. [Majmu’Fatawa V/79]

Seperti Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan hati dan bukan melihat-Nya tapi mengetahui-Nya dengan hati. [Maqalaat Islamiyah I/118]

Melihat Allah dalam mimpi, mungkinkah ?
Para sahabat dan tabiin dan salaf mengatakan bahwa ru’yatullah lewat mimpi adalah hak dan bisa terjadi. Sebagaimana hadits tentang mimpi Rasulullah melihat Allah dengan lafaz yang berbeda di antaranya:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ,Rasulullah bersabda:

رَأَيْتُ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ 

Saya pernah melihat Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [HR.Tirmidzi dan Ahmad]

Juga di dalam hadits yang lain.

أَتَانِي اللَّيْلَةَ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ 

Semalam saya didatangi oleh Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya” [HR.Tirmidzi dan Ahmad]

Diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, Rasulullah bersabda.

فَإِذَا أَنَا بِرَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ 

Tiba-tiba aku bertemu dengan Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [HR.Tirmidzi dan Ahmad]

Syaikh Islam berkata: ”Terkadang seorang mukmin bisa melihat Allah ketika tidurnya dalam bentuk yang berbeda, sesuai dengan kafasitas keimanan dan keyakinannya. Apabila keimanannya kepada Allah kuat dan benar, maka ia akan melihat Allah dalam bentuk yang baik, tapi bila imannya kurang maka ia akan melihat Allah sebatas imannya itu. Dan penglihatan lewat mimpi berbeda dengan penglihatan ketika tidur. [Majmu’Fatawa juz III/390]

Namun demikian bukan berarti orang yang pernah bermimpi melihat Allah boleh melanggar syari’ah atau dijamin masuk surga, karena tidak ada ketentuan yang demikian dari Rasulullah. Adapun perkataan Ibnu Sirin yang diriwayatkan Ad-Darimi no 249, yang menyatakan: ”Barang siapa yang bermimpi melihat Allah maka akan masuk surga”, tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak adanya sanad yang bersambung kepada Rasulullah, dan tidak seorangpun dari sahabat yang menyatakan demikian.

Rukyatullah fi yaumil Qiyamah
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Ahlussunah sepakat bahwa ru’yatullah pada hari kiyamat adalah hak menurut Al-Quran dan Sunnah. Tetapi apakah ru’yatullah pada hari ini khusus bagi orang mukmin saja atau yang lainnya juga?. Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama.
Ruyatullah pada hari kiyamat untuk semua orang baik mukmin maupun kafir.Mereka berhujjah dengan keumumman ayat yang menjelaskan pertemuan dengan Allah seperti ayat:

يَا أَيُّهاَ اْلإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلىَ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلاَقِيهِ 

Hai manusia sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh memuja Tuhanmu,maka pasti kamu akan menemui-Nya. [Insyiqa’ : 6]

Kata”Insan” dalam ayat di atas menunjukkan jenis yaitu anak Adam. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari dan Al Qurthubi. Mereka berdalil dengan hadis Abi Said terdahulu, yang menyatakan bahwa manusia akan melihat Allah pertama kali, kemudian dikatakan kepadanya supaya setiap kaum mengikuti apa yang dia sembah di dunia. Dan ini adalah ru’yah yang umum kepada semua manusia.

Kedua;
Melihat Allah hanya bagi orang menampakan keimanannya baik dia mukmin atau orang munafik. Mereka berdalih dengan hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah akan menampakkan diriNya dalam bentuk yang diketahui oleh orang yang menyembahNya, kecuali mereka yang menyembah matahari, bulan dan salib.

Ketiga;
Hanya orang yang mukminlah yang akan bisa melihat Allah, karena Allah mengatakan:

كَلآَّ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)Tuhannya. [Al Mutaffifin :15]

Dan pendapat inilah yang paling kuat. Adapun pendapat pertama yang menyatakan bahwa semua manusia bisa Ru'yatullah, yang dimaksud adalah yang pertama kali yaitu Ru'yatullah yang umum, tetapi kemudian dihijabi/dihalangi. Ru'yatullah itu juga berbeda. Yang paling hakiki adalah Ru'yatullah di dalam surga yang menjadi tambahan bagi orang mu’min, inilah yang dikuatkan oleh hadits Sa’id Al Khudri: “Kemudian Al Jabbar (Allah) mendatanginya dalam bentuk yang berbeda dengan bentuk awal mereka melihatNya (Majmu’ Fatawa VI/503)”.

Kesimpulan
Dari pembahasan ini bisa disimpulkan bahwa Allah tidak bisa dilihat, tetapi tidak pernah dilihat dengan mata kepala baik, oleh nabi Musa maupun Rasulullah di dunia. Allah hanya bisa dilihat di dunia dengan pandangan hati atau lewat mimpi sesuai dengan kapasitas keimanan dan keyakinannya kepada Allah. Adapun pada hari kiamat Allah akan dilihat oleh seluruh mahluk-Nya. Tetapi Ru'yatullah yang hakiki yang menjadi tambahan kenikmatan, hanya bisa dirasakan oleh orang mukmin setelah mereka masuk kedalam surga.

Ya Allah! perkenankan kami untuk bisa merasakan kenikmatan untuk melihat wajah-Mu yang agung, Amin!

Senin, 26 Desember 2011

PERBEDAAN JIN DAN IBLIS

#Imam al-qurtubi Dalam kitabnya al-jami’ liahkamil qur’an menyebutkan bahwa permasalahan asal muasal jin adalah masalah ikhtilaf#

#jin itu anak keturunan iblis seperti halnya manusia adalah anak keturunan adam dan hawa#,

# jin itu terbagi dua, ada yang mukmin dan ada yang kafir, sehingga bagi mereka yang mukmin berhak juga mendapatkan pahala surga  dan yang kafir mendapatkan ganjaran neraka#.

#Imam Qatadah  menafsirkan surah an-nas mengatakan; sebagian jin adalah setan sama halnya sebagian manusia adalah setan karena berkepribadian setan#

#Pada akhir surah annas disebutkan: “ yang telah membisikkan sesuatu  dlm diri manusia yaitu mereka dari golongan jin dan manusia#

#Dalil ini dikuatkan dalam surah al-an’am;” dan seperti itulah kami jadikan musuh bagi anak cucu adam yaitu setan dari golongan manusia dan jin#

#seorang ulama ditanya; kenapa allah menciptakan setan? Jawabnya; “ linataqarraba ilallahi bil-isti’adzah minhu artinya; agar kita selalu mendekatkan diri kepada allh dengan meminta perlindungan#

#Allah SWT sangat senang kepada hamba-Nya yang selalu berdo’a maka perbanyaklah berdo’a agar allah senang#.
#kullu khair fihi syar : dimana ada kebaikan pasti ada kejahatan, maka Waspadalah !!! WWW.BangNapi.com.

HUBUNGAN SYARIAT DAN FILSAFAT DALAM PERPEKTIF IBNU RUSYDI


Biografi Ibnu Rusydi; sebuah perkenalan singkat.
Abu Ya‘la al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd (1126-1198), atau yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd dan dibarat beliau terkenal dengan nama Averroes, adalah filosof Muslim Barat terbesar di abad pertengahan. Dia adalah pendiri pikiran merdeka sehingga memiliki pengaruh yang sangat tinggi di Eropa. Michael Angelo meletakkan patung khayalinya di atas atap gereja Syktien di Vatikan karena ia dipandang sebagai filosof free thinker. Dante dalam Divine Comedia-nya menyebutnya “Sang Komentator” karena dia dianggap sebagai komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles, belaiu adalah filosof yang banyak mensyarah buku-buku aristoteles.

Secara resmi, Ibn Rusyd memang diminta oleh Amir Abu Ya‘la Ya’qub Yusuf untuk menulis komentar atas berbagai karya Aristoteles, di mana untuk setiap buku dia membuat tiga kategori komentar: ringkasan (jami’), komentar singkat (talkhis) dan komentar detail (sharh atau tafsir). Yang terakhir disiapkan untuk mahasiswa tingkat tinggi.[2] Akan tetapi, untuk jangka waktu yang sangat lama, di dunia Muslim, Ibn Rusyd tidak dikenal karena komentar-komentarnya terhadap karya-karya Aristoteles, tapi karena Tahafut al-Tahafut-nya yang ditulisnya sebagai bantahan terhadap terhadap buku al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah. Komentar-komentarnya banyak berada di dunia Yahudi dan Kristen sehingga kebanyakan komentar-komentarnya tidak lagi ditemukan dalam bahasa Arab, tapi sudah dalam bentuk terjemahan bahasa Hebrew atau Latin

Ia lahir di Kota Cordova, Ibu Kota Andalusia.Kakeknya adalah seorang ahli fiqh dan ilmu hukum terkenal. Di samping menjabat sebagai imam besar di Masjid Jami’ Cordova, ia juga diangkat menjadi hakim agungn (qadi al-jama’ah). Setelah meninggal, jabatan hakim agung ini diteruskan oleh puteranya, ayah Ibn Rusyd.
Beliau banyak memberikan distribusi tehadap agama ini dari berbagai bidang, dalam bidang fikih beliau menulis buku bidayatul-mujtahid wanihayatul-Muqtashid, dalam bidang kedokteran ( al-kulliyyat fii tib ) , dalam bidang aqidah membuat ringkasan buku al-mukhtashar al-mustashfa , dalam bidang filsafat ( jawami' kutub aristoteles ) dan lain-lain.[2]

Menurut Sarton;  dia adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan. Secara garis besarnya beliau

menghubungkan Agama dan Filsafat? ِApakah bisa
jawabannya bisa, pertama-tama yang harus diketahui bahwa syariah atau agama sama-sama mengajak kebaikan dan kebenaran, demikian juga halnya filsafat yang tidak menyeruh kepada hal yang tidak bersesuaian syariah. Jadi kalau  keduanya saling mengajak kebenaran kenapa mesti untuk dipisahkan, jadi mestinya menghubungungkan antara filsafat dan agama karena posisi yang saling menguntungkan.

 ibnu rusydi berusaha meng hubungkan keduanya yaitu hubungan saling menguntungkan karena sebagaimana kita ketahui , agama adalah wahyu maka perlu pemahaman terhadap wahyu dan cara untuk memberikan pemahaman yaitu dengan penakwilan, disinilah fungsi filsafat sebagai penakwilan terhadap wahyu, lalu kekurangan filsafat tidak mampu mengkaji pada hal-hal yang metafisika ( alam ghaib ) maka disinilah ketergantungan filsafat pada wahyu yang mampu  mengabarkan hal gaib.

Cara penafsiran beliau adalah. makna yang dimunculkan dari pengetahuan suatu lafal yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riil) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat majaz (metafor) ( Fash al-Maqâl…..: 32). Takwîl yang dimaksudkan Ibn Rusyd adalah pengambilan makna esoterik atau makna substansial yang dikandung oleh teks (lafal), jadi bukan mengambil makna eksoterik atau 
makna tekstual lafal tersebut[3]
Dalam hal ini, yang perlu digarisbawahi adalah perkataan Ibn Rusyd, bahwa, “…Capaian apapun yang dihasilkan oleh metode burhan tapi bertentangan dengan makna lahir teks-teks syariat, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan menurut aturan main pentakwilan bahasa Arab yang ada.” Juga pernyataannya, bahwa “…makna lahir apapun juga yang terdapat pada teks syari’at yang secara lahiriah bertentangan dengan susatu makna yang disimpulkan oleh metode burhan kemudian makna lahir syari’at itu diteliti dan ditelaah semua bagian dan partikelnya, pada teks-teks syari’at itu sendiri akan dapat ditemukan kesimpulan-kesimpulan yang secara lahiriah mendukung adanya proses pentakwilan semacam itu, atau minimal tidak menolak.” Lanjut, Ibnu Rusyd, karena kenyataan inilah –kaum muslimin berijma’—bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban untuk memahami lafal-lafal syari’at kepada makna lahiriah-lahiriah seluruhnya, atau mencerabut semua lafal dari makna tekstualnya[4]

Kata beliau, ringkasnya adalah tujuan kita akan menggabungkan dalil mantuq ( tertulis ) dan dalil ma'qul ( logika ). Bahkan kita bisa mengatakan, apa yang terdapat dalam wahyu  itu hanya dzohir maka disini perlunya ta'wil walaupun para ulama berbeda persepsi dalam hal takwil. Seperti asyairah yang membolehkan takwil, khususnya ayat-ayat mutasyabihat, dan kelompok hanabilah tidak mentakwil.[5] Dan Ulama pada umumnya tidak mengkafirkan golongan yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat.

Fikrah ibnu rusydi dalam konsep menghubungkan filsafat dan agama tidak jauh beda dengan filosof-filosof sebelumnya, yang menyatakan hubungan agama dan wahyu adalah wahyu dan nalar, sebagaimana dalam alqur'an berisikan kabar  yang bermacam-macam, ad kabar yang sudah terjadi dimasa lalu, ad kabar yang sedang terjadi masa sekarang, dan ada juga kabar yang belum mampu direalisasikan oleh manusia, maka filsafat berfungsi dengan menggunakan nalarnya secara tepat dan bertanggung jawab. Dan fungsi yang lainnya adalah untuk memastikan kebenaran wahyu seperti dalam masalah teologi dalam al-qur'an, karena dalam masalah ini membutuhkan analisa dan nadzar untuk lebih meyakinkan kebenarannya.
Maka oleh karena itu filsafat akan menggunakan metodeloginya yaitu; berpikir radikal, sistematis dan berpikir kritis.maksudnya berpikir radikal adalah berpikir atau mengkaji masalah  yang dimulai akar masalahnya, dan berpikir sistermatis adalah pengkajian yang berusaha menghubungkan masalah dengan masalah yang bertalian dan bentuknya teratur dan terstruktur baik, dan adapun berpikir kritis, adalah usaha penyaringan pemikiran atau pemahaman.
Kemudian ibnu rusydi memberikan benang merah kepada kita, bahwa manusia pada umumnya terbagi tiga, yaitu; orang awam ( ahli retorika), jadaly , dan mufakkir ( ahli pikir/demonstratif ).bagi orang awan tidak bisa mentakwil karena hanya melihat al-quran dari nash yang tertulis saja, danadapun pendebat hakikatnya mampu menakwilkan wahyu namun belum sampai pada level ilmu yakin, maka Yang menta'wil adalah para mufakkir atau ahli yakin[6], sebagaimana dalam alqur'an:
فاعتبروا يا أولي الابصار (الحشر: 2)
اولئك اللذين هداهم الله واولئك هم أولوااألالباب (الزمر:)
ليربروا اياته وليتذكر اولوا الالباب ( ص:29)
Qiyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir wajib mempelajari kaidah-kaidah kias dn dalil serta mempelajari ilmu logika dan falsafah. Bernalar dengan kaidah yang benar akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan agama, karena kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang.

Seperangkat ajaran yang disebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil yang lazim digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.

Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada juga yang harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah.

Adapun jika keterangan lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya. Dan jika tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan ta’wil itu adalah para filosof atau sebagian mereka, yakni orang-orang yang telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan. Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi pada orang-orang yang sudah yakin, tidak kepada selain mereka yang ampang menjadi kufur.

Agama islam kata Ibn Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti ajaran trinitas dalam agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.

Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambing atau simbolm bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya
Sekarang dalil apa lagi yangn ada minta?, justru tidak ada yang dalil berhasil untuk memisahkan filsafat dari agama yang dilakukan oleh orang-orang yang dangkal wawasannya. Dengan dalil diataslah sehingga ibnu rusydi mewajibkan memepelajari filsafaT.
Ringkasnya bahwa para filosof muslim sepakat untuk menghubungkan antara filsafat dan syariat  karena sebenarnya keduanya memiliki topik pembahasan yang sama. Dan menurut abu hayyan at-tauhidy; syariat itu ibaratnya mengobati orang sakit, dan filsafat itu ibaratnya menjaga kesehatan, ini perumpamaan yang bermaksud bahwatujuan nabi yang membawa syariah adalah mengobati orang sakit agar tidak bertambah sakitnya hingga sembuh dan adapun filosof adalah mereka yang memberikan trik-trik agar sehat dan terhindar dari penyakit[7], jadi intinya saling menguntungkan.


Bagaimana Ibnu rusydi berfilsafat?
Ibnu rusydi menggunakan manhaj burhani dalam berfilsafat. Sebagaiamana beliau pernah menyampaikan tiga manhaj pembangun kritis yang sering digunakan, yaitu; manhaj khitaby, manhaj jadaly, dan manhaj burhany. Manhaj khitaby adalah manhaj yang sering digunakan oleh jumhur yang sifatnya iqna’iy, dan manhaj jadaly adalah metodologi yang digunakan oleh para mutakallimin atau ahli ilmu kalam dan adapun manhaj burhany adalah metodology filosof dalam berfilsafat.
Tentunya Sekarang kita sudah mafhum dalil khitaby, selanjutnya apa perbedaan antara dalil jadaly dan dalil burhany? Karena terkadang kita tidak mampu membedakan bahkan menyamakan manhaj filosof dan mutakallimin, bahkan ada juga orang tidak bisa membedakan antara filosof dan mutakallimin. Maka oleh karena itu mari kita melihat titik perbedaan manhaj masing-masing, jadi dalil jadaly adalah aqlany dalam arti bahwa; dalil ini berpatokan pada undang-undang logika atau seluruh pendapat-pendapatnya diusung oleh dalil-dalil yang bisa diterima oleh akal, dan adapun manhaj burhani adalah; manhaj yang mengedepankan kebenaran tanpa mesti berjadal, karena berjadal itu akan terlihat posisi yang kalah dan posisi yang menang diantara kedua pihak[8].
Dalil burhany yang digunakan oleh filosof memakai 3 syarat; yaitu pertama; dalil dan pemikirannya harus radikal, kedua sistematis dan ketiga; harus kritis. Jadi salah yang menganggap bahwa semua kegiatan berpikir disebut berfilsafat, padahal kegiatan berfilsafat harus memenuhi ketiga syarat tersebut.
 Ibnu rusydi dalam kajiannya sering melontarkan kritik tajam kepada para sufi yang selalunya berdalil tajribah nafsiyyah  ( pengalaman pribadi )disetiap amalan-amalannya, kata ibnu rusydi; tajribah nafsiyyah itu tidak bisa dijadikan dalil atau masdar, karena tajribah nafsiyyah hanya orang-orang tertentu saja dan tidak bisa dipakai oleh semua orang islam, padahal islam adalah agama yang syumul, bisa dipakai dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun. Jadi jelas-jelas terlihat kesalahan sufi ketika bersikeras menjadikan tajribah nafsiyyah sebagai masdar.[9] Kata DR'Atif al-Iraqy, inilah landasan ibnu rusydi menghantam para sufi karena berdalilkan Dzauk ( alam rasa )  sehingga tarekatnya untuk ma'rifatullah tidak dilandasi dalil-dalil aqly ( logika), dan  masih banyak lagi pembahasan yang menjadi bantahan ibnu rusydi dalam bidang tasawwuf seperti nadzriyyat Al-Ma'rifat, Musykilat Al-Ittashal, Wujudullah, dan lain-lain, jadi beliau membantah para sufi dengan manhaj naqdi nya yaitu landasan logika.[10]
Tidak hanya itu, beliaiu juga sering melontarkan krititk tajam kepada para mutakallimin khususnya kepada asyairah dalam ilmu kalamnya, seperti dalam masalah hari kebangkitan, perdebatan para mutakallimin dalam Al-Ma'ad sangat panjang sehingga pada kesimpulannya memeberikan natijah  bahwa sebagian besar dari mereka sepakat kalau manusia akan dibangkitkan dengan jasadnya saja,  dengan dalil bahwa manusia yang sudah mati akan dibangkitkan oleh allah dengan berjasad, baik jasadnya itu adalah jasad yang  baru ataupun jasad yang pernah kita pakai didunia karena allah kuasa melakukan apa saja yang diinginkan-Nya.

Setelah perdebatan panjang oleh mutakallimin dalam masalah ini, maka datanglah ibnu rusydi
 yang berbeda persepsi dengan mereka, beliau mengatakan semua ulama sepakat bahwa ruh itu tidak hancur ketika hancurnya jasad nanti. Dan ruh akan merasakan kehidupan selanjutnya baik itu nikmat ataupun siksaan. Sehingga ibnu rusydi berdalil bahwa manusia akan dibangkitkan hanya dengan ruh saja karena topik kajian ini adalah masalah al-khulud, dan yang kekal itu hanyalah ruh, adapun mengenai keadaan kita nantinya apakah berjasad atau tidak adalah urusan tuhan, yang jelas ruh yang kita pakai sekarang akan tetap merasakan kehidupan selanjutnya dan abadi selamanya.[11]

Dalil lain yang digunakan ibnu rusydi adalah , apa yang ada didunia tidak akan ada lagi di akhirat kecuali tinggal nama saja atau persamaan nama saja tapi pada hakikatnya berbeda[12]. seperti jasmanai atau seluruhanggota tubuh, dan apa yang terdapat disana akan berbeda dengan apa yang kita pernah lihat di dunia, bahkan isteri kita terlihat lain dari yang lain,

Bagaimana Ibnu Rusydi membantah buku tahafut  Imam Al-Gazaly?
Penulis tidak bisa mencantumkan semua bab  yang menjadi bantahan ibnu rusydi terhadap buku tahafut karya imam al-gazaly namun hanya bisa menguraikan poin-poin besarnya saja.
Kata ibnu rusydi , sebnarnya imam al-gazali menghantam filsafat dengan berpatokan dalil ibnu sina, padahal ibnu sina sudah dalam filsafatnya tidak berlandaskan filsafat aristo, jadi perlu ada klarifikasi antara filsafat ibnu sina dengan filsafat aristo.maka dalil itulah yang digunakan imam algazali dalam membantah filosof yang lain hingga mengkafirkan mereka.[13]
Sekilas tentang filsafat ibnu sina, ibnu rusydi pernah menyebutkan bahwa ibnu sina belum memahamai kajian filsafat aristo selcara menyeluruh, bahkan ibnu sina sudah mencampur adukkan antara filsafat aristo dan filsafat plato.. lalu dari segi manhaj atau metodologi ibnu sina dal;am berfilsafat menggunakan manhaj jadaly seperti halnya mutakallimin.dan manhaj jadaly belum sampai derajat manhaj burhany.[14]

Pada dasarnya landasan imam al-gazali membantah filosof lainnya karena banyak berdalilkan  filsafat ibnu sina.sehingga ibnu rusydi tidak segan-segan membantah kerancuan filsafat ibnu sina demi membesar-besarkan manhaj burhani dalam memcahkan masalah filsafat.
Imam Al-Gazali megkafirkan para filosof pada tiga  pembahasan yaitu qidamul alam, khuludun-Nafsi ( bab yang berkaitan dengan hari kebangkitan ), dan pembahasan ilmu tuhan. Dalam hal ini ibnu rusydi hanya mewanti-wanti dalam membaca tahafut imam al-gazali, karena mestinya imam al-gazali merujuk kembali filsafat aristo dan lebih mendalaminya.[15]

Yang terakhir, sebagaimana kita ketahui  latar belakang imam al-gazaly seorang sufi, dan bermadzhab asyairah, maka tidak bisa dipungkiri kalau beliau meghantam filosof dengan metodologi sufiyyah dan sekaligus menggunakan undang-undang ilmu kalam bukan undang-undang filsafat.

Kesimpulan;
Ibnu rusydi adalah filosof sejati yang mampu mendudukan filsafat pada tempatnya, secara garis besarnya, bentuk kajian dan pemikiran ibnu rusydi adalah; tidak terbatas pada dzohir ayat al-quran tapi menganjurkan takwil, filsafat ibnu rusydi berkiblat pada filsafat aristoteles, dan menggunakan manhaj naqdy karena landasannya adalah dalil logika[16] , dan sebagai penutup; mudah-mudahan dalam makalah ini bermanfaat, jika ada kekurangannya dari segi subtansi , penulisan, dan lainnya mohon saran dan masukannya , semoga kita orang-orang yang dianugerahi ilmu yang luas yaitu ilmu yang menambah rasa takut pada allah swt, amin.


                                                                                                                 


                                                           



Universitas Azhar.[1] Mahasiswa kelas 4 jurusan teology dan filsafat fakultas usukuddin
[2] Abu Alwalid ibnu rusydi 2009, bidayatul-Mujtahid Wanihayatul-Muqtasid. Maktabah usrah Hlm.3 juz 1.
[3] IDR.Atif Al-Iraqy.Fashl Maqal Fima Bayn Al-Hikamh Wa-Syariah Minal-Ittishal hlm;32
[4] Ibid hlm 33
[5]  ibid
[6] DR.Atif Al-Iraqy, Al-Failusuf Ibnu Rusd.Hlm; 171
[7] Mustafa Abd.Razik , tamhid li tarikh al-falsafah al-islamiyyah.maktabah usrah hlm.87
[8] Ibnu rusydi, Minhaj Naqd fi Falsafah Ibn rusydi
[9] ibid
[10] DR.Atif Al-'Iraqy. Al-Filusuf Ibnu Rusdy.hlm.153
[11] DR.Muhammad Qamar Daulah Nashif, Dirasat Fil-Falsafah Al-Islamiyyah.hlm 293
[12]Hlm 870 juz 2 Ibnu rusydi. Tahafut tahafut
[13] DR.Atif Al-Iraqy.Alfilusuf Ibnu Rusydi,Hlm.159
[14] Ibid.Hlm.158
[15] Ibid. 181
[16] Ibid.hlm 185