Tasawuf Itu
Bagaimana Hati/Qalbu Kita Senantiasa
Bersama Dengan
Allah Dalam Kondisi Apapun
Melalui Tazkiyatu
al-Nafs Untuk Mewujudkan
Akhlaqu
al-Karimah Dalam Kehidupan Kita
(وإنك
لعلى خلق عظيم (سورة القلم 4))
(لقد كان لكم فى رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر
وذكر الله كثيرا (الأحزاب 21))
Tasawuf Itu
Bukan Seperti Kata Orang Yang Tidak Paham Alias Asbun (Asal Bunyi Dan Asal
Ngomong) Bahwa Tasawuf Itu Ajaran Sesat Dan Ajaran Thagut Atau Ajaran Syetan
Karena Thagut Itu Syetan lho…..!!! Uuuuh.. Ngeri Banget Deh…!!!
Dr. KH. Mustamin Arsyad, Lc. MA.
بسم الله الرحمن الرحيم * وبه نتوسل إلى المولى الكريم * أن يهدينا
إلى الطريق المستقيم * وينير بصيرتنا لفهم القرآن الكريم * والصلاة والسلام على
النبي الكريم * صاحب الخلق العظيم * وعلى آله وصحبه الذين استبشروا بنعمة وفضل من
الله عظيم *
قال الله تعالى فى كتابه العزيز الكريم :
(لا يحب الله الجهر بالسوء من القول إلا من ظلم وكان الله سميعا عليما
* إن تبدوا خيرا أو تخفوه أو تعفوا عن سوء فإن الله كان عفوا قديرا) (النساء
148-149)
Muhammad Ibn
Abdil Wahab
Studi
Kritis tentang Ideologi dan Pemikirannya
Warning…! : Sebelum membaca artikel
ini siapkan kopi dan pastel di meja anda karena butuh waktu kira-kira setengah
jam untuk menghabiskan artikel ini. Yang gak tahan baca lama2 sebaiknya mundur
dari sekarang biar gak pingsan karena diklaim sebagai orang kafir
padahal tidak merasa kafir. Dan yang suka emosian sediakan kipas angin
biar gak kepanasan. Dan kalau mau bikin bantahannya bikin bantahan yang
berbobot. Dan sebaiknya baca dulu Kitab Referensi yang tertera dalam Daftar
Pustaka dan Catatan kaki di put not artikel ini,
sebelum membuat bantahan,
biar berimbang lho…!.
Bismillah… wa ‘Alaa Millati
Rasulillah,
Prolog
Sekitar tiga abad silam,
kaum muslimin di Jazirah Arab pada khususnya, dan di seluruh belahan
dunia Islam pada umumnya, digemparkan dengan munculnya sosok seorang teolog
yang bernama Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Pandangan-pandangan barunya telah
berhasil mengusik tatanan ideologi kaum muslimin yang mapan pada saat itu.
Dalam dakwahnya, ia mengangkat jargon purifikasi akidah dari segala hal yang ia
pandang telah menyimpang dari aturan-aturan agama. Kaum muslimin di
masanya, ia pandang tak jauh berbeda dengan kaum musyrikin di era Nabi
saw.. Dengan pandangan yang sedemikian ekstrim ini, ia tidak segan menggerakkan
massanya untuk mengangkat senjata demi memerangi kaum muslimin yang tidak
seideologi dengannya.
Sikap ekstrim tersebut
menuai banyak kecaman dari para ulama saat itu. Bahkan fakta adanya banyak
peperangan yang terjadi antara Ibnu Abdil Wahab (IAW) dan kaum muslimin saat
itu semakin menegaskan betapa sengitnya bentrok ideologi saat itu, sehingga
perang kata-kata pun tidak cukup dan harus diselesaikan dengan kontak fisik.
Gerakan dakwah yang
dipelopori oleh IAW dalam dunia Islam dikenal dengan sebutan “Wahabi”[1]. Semenjak pertama kali muncul, dakwah ini selalu
saja menjadi momok bagi sebagian besar kaum Muslimin. Pandangan-pandangan
keagamaannya yang kaku dan kurang bisa berkompromi dengan perbedaan
menjadikannya “Common enemy” bagi berbagai madzhab yang berkembang dalam
Islam. Namun, gerakan dakwah ini masih sangat eksis hingga saat ini, lantaran
disokong oleh penguasa Kerajaan Saudi dengan pendanaan yang wah…..!!!???
Membicarakan sosok IAW akan selalu menuai pro dan
kontra. Hal itu sangatlah wajar mengingat setiap tokoh pasti akan dibela
habis-habisan oleh para pengikut fanatiknya. Sementara di kutub yang
berlawanan, dipastikan akan ada wacana tandingan yang tidak kalah pedasnya
dalam mengkritisi seluruh pemikirannya. Dalam tulisan singkat ini, penulis
mencoba untuk lebih fokus pada kajian kritis terhadap pemikiran-pemikiran IAW
yang teruraikan secara gamblang di berbagai buku dan risalahnya. Penulis hanya
akan menyinggung seperlunya saja mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
sejarah. Karena sejarah yang seharusnya hitam kelam akan tersulap
menjadi putih dan jernih di tangan sejarawan wahabi. Pun demikian
pula, sejarah jerih payah purifikasi akidah yang mungkin perlu diapresiasi akan
hilang tak berbekas di tangan sejarawan lawan teologi wahabi. Karena tema ini
begitu pelik dan banyak sub pembahasan di dalam, maka penulis tidak akan banyak
bertele-tele dalam membahas setiap permasalahan, dan lebih mengedepankan
informasi rujukan, dengan harapan para pembaca yang budiman bisa menelitinya
lebih luas dan dalam dari yang penulis lakukan.
A. Beografi Singkat Ibnu Abdil Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf
at Tamimi lahir pada tahun 1115 H/ 1703 M di daerah Uyainah yang
merupakan bagian dari Najd, terletak sekitar 70 km di utara Riyadl (Ibu Kota
Saudi Arabiah). Semenjak kecil ia belajar agama kepada para ulama yang berada
di Makkah dan Madinah serta ke beberapa daerah seperti al-Ihsa` dan Basrah[2].
Menurut sejarawan wahabi Ibnu Ghannam,
kondisi mayoritas kaum muslimin di awal abad ke-12, sebelum dakwah IAW, telah
bergelimang dengan kesyirikan dan kembali ke era jahiliyah.
Hal itu disebabkan karena kebodohan mereka dan semaraknya para juru
dakwah yang mengajak kepada kesesatan dan kesyirikan.
Demikian juga –dalam pandangan Ibnu Ghannam- mereka berpaling dari tauhid dan
menyembah kaum shalihin, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal
dunia, serta menyembah kuburan-kuburan mereka. Bahkan kesesatan kaum muslimin
tersebut sebenarnya telah terjadi berabad-abad yang silam[3].
Pandangan Ibnu Ghannam di atas tentunya sangat
berlebihan. Karena pernyataan tersebut bertentangan dengan fakta yang ada.
Kondisi kaum muslimin saat itu tidak berbeda dengan kondisi kaum muslimin di
zaman kita sekarang ini. Ziarah ke kuburan kaum al-Shalihin dan bertabarruk
(baca: mengambil I’tibar untuk mendapatkan berkah, bukan menyembah) dengan
mereka adalah aktivitas ritual kaum muslimin semenjak zaman Nabi hingga saat
ini. Hanya saja, ritual semacam ini tidak cocok dengan ide dasar ideologi
wahabi sehingga harus dikatakan sebagai penyembahan terhadap kuburan. Tentunya
saja, bagi orang yang paham agama, ziarah dan bertabarruk dengan kuburan
maknanya sangat jauh sekali dengan penyembahan terhadap kuburan. Berangkat dari
pemahaman yang salah inilah IAW dan para pengikutnya sampai sekarang memvonis
aktivitas tersebut sebagai bentuk kesyirikan.
Menurut cacatan Ibnu Ghannam, Ibnu Abdil Wahab adalah
sosok yang sangat luar biasa. Ia telah hafal Al Quran sebelum berumur sepuluh
tahun. Orang tuanya pun sangat kagum dengan putranya tersebut lantaran
kecerdasan dan pemahamannya meskipun ia masih kecil. Bahkan orang tuanya banyak
belajar hukum Islam kepada anaknya tersebut[4]. Namun hal ini bertentangan dengan penuturan Syekh
Muhammad bin Abdullah an-Najdi al-Hambali, seorang mufti madzhab hambali di
Mekkah (W 1295 H), beliau menuturkan dalam kitabnya yang berjudul “al- Suhub
Al Waabilah ‘Ala Dlaraaihil Hanaabilah” bahwa Ibnu Abdil Wahab baru berani
memulai dakwahnya secara terang-terangan pasca orang tuanya wafat. Bahkan orang
tuanya sangat marah kepadanya karena ia tidak mau belajar ilmu fikih
sebagaimana para pendahulunya[5]. Lebih jauh lagi, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti
madzhab Syafi’I di Mekkah di era akhir kekhilafahan Ustmaniyyah mendedahkan
dalam tarikhnya, beliau berkata “Awalnya Ibnu Abdil Wahab adalah seorang
penuntut ilmu di Madinah al-Munawwarah. Ayah dan saudaranya Sulaiman bin Abdul
Wahab adalah orang shaleh dan termasuk ulama. Ayah, saudara dan guru-gurunya
mempunyai firasat buruk bahwa ia (IAW) akan tersesat. Hal itu setelah mereka
melihat perkataan, perbuatan dan kecenderungannya di berbagai permasalahan
agama” (al Futuhaat al Islamiyyah: 2/66)[6].
Ibnu Abdil Wahab adalah sosok yang independen dan
tidak mau berkiblat pemahaman kepada siapa pun, bahkan kepada gurunya. Kalau
pun ada yang mempengaruhi gaya berpikirnya bisa jadi itu adalah Ibnu Taimiyah
dan Ibnu al-Qayyim. Karena pandangan IAW dalam masalah tauhid dekat dengan
kedua tokoh abad ke-7 tersebut. Akan tetapi saudaranya yang bernama Sulaiman
bin Abdil Wahab nampaknya tidak setuju dengan hal ini. Oleh karenanya dalam
menulis bantahan terhadap saudara kandungnya tersebut dalam kitab yang berjudul
“Al-Shawaiq Al Ilahiyyah Fi al-Raddi ‘Ala al- Wahabiyyah” Syekh Sulaiman
memakai argumentasi-argumentasi Ibnu Taimiyah untuk mematahkan argumentasi
saudaranya tersebut, khususnya dalam masalah al-Takfir.
Independensi berpikir ini bisa kita pahami dari
beberapa statemen Ibnu Abdil Wahab itu sendiri. Diantaranya ia berkata:
“Alhamdulillah aku tidak mengajak kepada madzhab sufi,
ahli fikih, ahli kalam atau seorang imam dari imam-imam yang aku agungkan
seperti Ibnu al-Qayyim, al-Dzhabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Akan tetapi aku
mengajak kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan kepada sunnah Rasulullah
saw.”[7].
Demikian juga, ia pernah berkata:
“Aku telah mencari ilmu dan orang-orang yang
mengenalku menyangka bahwa aku telah memiliki ilmu. Padahal saat itu aku tidak
mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah” dan tidak mengetahui agama Islam,
sebelum anugerah (pemahaman) yang telah dikaruniakan Allah kepadaku ini.
Demikian juga guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka mengetahui hal itu
(makna laa ilaaha illallah dan Islam). Barang siapa dari kalangan ulama
sekarang mengira bahwa ia telah mengetahui makna laa ilaaha illallah, atau
mengetahui makna Islam sebelum saat ini, atau mengira guru-gurunya atau
seseorang mengetahui hal itu maka sungguh ia telah berdusta dan mengaku-ngaku,
serta mengelabui manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada pada
dirinya”. (ad Durar as Saniyyah: 10/51)[8].
Konon menurut sebagian ulama berasumsi bahwa, Ibnu
Abdil Wahab ini begitu gemar membaca sejarah orang-orang yang pernah mengaku
nabi, seperti Musailamah Al Kaddzab, Al Aswad Al Unsi, dan Tulaihah Al Asdi.
Oleh sebab itu, sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya ia mempunyai maksud
untuk mengikuti jejak orang-orang yang pernah mengaku menjadi nabi tersebut (sekalipun penilaian dan asumsi ini tentunya tidak sepenuhnya
benar atau mungkin berlebihan)[9]. Dari spirit inilah, maka tidak heran jika
statemen-statemen agama yang ia lontarkan dianggap keluar dari consensus/ijma’
ulama saat itu. Tidak pelak, bantahan dan sikap penolakan atas ajaran yang
ditawarkan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab inipun mengalir deras dari para ulama
Makkah dan Madinah, sampai akhirnya dia terusir ke daerah Nejd pada tahun 1142
H, dan di daerah inilah dia berusaha mengatur siasat dakwah yang dia yakini[10].
Dalam literatur-literatur Islam klasik, bantahan yang
paling terkenal justru datang dari saudara kandungnya sendiri yang bernama
Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab. Dalam rangka menasehati saudaranya itu, Syekh
Sulaiman menulis sebuah risalah yang sangat kesohor yang bertajuk “Al-Shawâiq
Al Ilâhiyah Fi al- Raddi ‘Ala al-Wahâbiyah”. Tidak hanya saudaranya yang
mempunyai kekhawatiran akan pemahaman ekstrimnya. Akan tetapi Syekh Muhammad
Sulaiman Al Kurdi, salah satu gurunya juga ikut menasehatinya. Dalam sebuah
sumber, Syekh Sulaiman Al Kurdi pernah berpesan kepada muridnya itu:
“Wahai Ibn Abdil Wahab, keselamatan adalah teruntuk kepada
orang yang mengikuti jalan yang benar. Sungguh aku ingin menasehatimu agar
segera menghentikan lisanmu dari mencela dan mencacimaki kaum muslimin. Jika
kamu mendengar ada orang yang berkeyakinan bahwa ada kekuatan selain kekuatan
Allah, maka kafirkanlah dia saja, dan jangan kafirkan sawadul a’dzam
(mayoritas) kaum muslimin. Kamu adalah orang yang menyimpang dari golongan
mayoritas kaum muslimin. Maka sesungguhnya orang yang memvonis kafir golongan
mayoritas kaum muslimin, itu lebih pantas menyandang tuduhannya itu, karena dia
telah keluar dari jalan kaum muslimin (yattabi’u gaira sabil al-mu’minin)”[11].
Karena cara berpikirnya yang
dipandang ekstrim tersebut, IAW mengalami kesulitan untuk menyebarkan dakwahnya.
Setelah terusir dari Nejd, ia pergi menuju Irak.
Di Irak pun ia tidak diterima hingga harus mengungsi ke Mesir. Namun keadaannya
di Mesir tidak berbeda dengan di dua tempat sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir
dan memutuskan pergi ke Syam. Setelah di Syam mengalami pengusiran serupa maka
ia kembali lagi ke Uyainah tempat kelahirannya. Akan tetapi pimpinan/penguasa
Uyainah saat itu Ustman bin Mu’ammar senantiasa mengawasi segala gerak-geriknya
dengan sangat ketat sehingga terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah menuju
Dar’iyyah. Di Dar’iyyah inilah ia bak menemukan telaga di padang pasir. Di sini
ia bertemu dengan Muhammad bin Sa’ud yang saat itu menjadi
pemimpin/penguasa (al-Amir) di daerah tersebut. Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena
keduanya saling membutuhkan; Ibnu Sa’ud membutuhkan agamawan untuk menguatkan
basis dukungan politiknya, sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan penguasa
untuk menjamin proses penyebaran ideologinya[12].
Dakwah aliran Wahabi mulai mengalami perubahan yang
lumayan signifikan ketika memanfaatkan kekuatan politik tersebut. Dengan adanya
kesepakatan saling menguntungkan, maka sang pimpinan/penguasa Dar’iyyah, Ibnu
Sa’ud memerintahkan seluruh penduduk Dar’iyyah untuk mendukung dakwah yang
disebarkan oleh Ibnu Abdil Wahab tersebut[13]. Oleh sebab itu kesepakatan bahwa pemegang kekuasaan
politik harus dari keturunan Ibnu Su’ud dan kekuasaan paham agama harus dari
keturunan Ibnu Abdil Wahab masih sangat kentara dan terlestarikan sampai di
zaman kita sekarang ini.
Menurut sebagian ulama, peperangan yang terjadi antara
aliran wahabi dengan pemimpin daerah Makkah Syarif Mas’ud serta pemimpin Mesir
Muhammad Ali Phasya dan anaknya Ibrahim Phasya tidak murni perang akibat
perebutan wilayah. Akan tetapi hal itu lebih kepada sebuah peperangan ideologi
agama[14].
B. Spirit “Takfir” Ibnu Abdil Wahab; Statemen “Takfiri”
Dalam Kitab dan Risalahnya.
Nampaknya Ibnu Abdil Wahab terlalu berlebihan dalam
mewujudkan keinginannya untuk melakukan purifikasi tauhid dalam setiap ritme
dakwahnya. Hal ini menyebabkan adanya pengkafiran terhadap kaum
muslimin secara besar-besaran yang dengan sengaja maupun tidak telah ia lakukan
dalam beberapa kitab dan risalahnya. Sikap al-takfiri (suka mengkafirkan) merupakan sikap paling masyur yang disematkan para ulama kepada IAW. Oleh karenanya, sebagian ulama
menyamakan kelompok wahabi dengan kelompok al-Khawarij yang
terkenal suka mengkafirkan kaum muslimin di era sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
Vonis takfir merupakan legalisasi awal bagi para pengikutnya untuk membantai
kaum muslimin yang tidak sepaham dalam banyak peperangan yang terjadi antara
kelompok wahabi dengan kaum muslimin. Al-Takfir dan Perang ibarat
dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan menjadi pilihan IAW dalam
menyebarkan ideologinya. Hal ini sangat kentara jika kita membaca
pesan-pesannya dalam beberapa tulisannya, seperti Al-Qawaaid Al Arba’ah, Kasyfu Asy Syubhat, Kitab Tauhid dan
lain-lain. Dalam kitab-kitabnya tersebut, setiap kali ia selesai mensejajarkan
identitas kaum muslimin (non-wahabi) dengan kaum musyrikin di zaman Nabi, ia
senantiasa menutupnya dengan informasi bahwa Nabi saw. memerangi kaum musyrikin
tersebut. Hal ini untuk mendoktrin para pengikutnya agar tidak gentar untuk
memerangi kaum muslimin yang tidak seideologi. Karena dalam
pandangannya, hakekat perang tersebut adalah jihad di jalan Allah
demi menegakkan agama-Nya[15].
Sikap ekstrim tersebut mendapat
kecaman dari berbagai kalangan ulama, baik yang menentang maupun yang mendukung
dakwahnya secara umum. Diantara ulama yang memuji dakwah IAW, namun mengkritik Manhaj
al-Takfirinya adalah Asy Syaukani. Meskipun Syaukani memuji dakwahnya
secara umum, namun ia pun menyayangkan sikap takfiri yang menjangkiti manhaj
dan para pengikutnya, ia berkata, “Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang
yang tidak tunduk kepada pemimpin Najd dan mematuhi segala perintahnya maka
orang tersebut telah keluar dari agama Islam” (al Badr ath Thaali’: 2/ 5).
Demikian pula Manshur al Hazimi, meskipun ia memuji dakwahnya secara umum,
namun ia mengkritisinya dalam dua hal:
(1) Pengkafiran
terhadap kaum muslimin hanya karena adanya perbedaan,
(2) Memerangi kaum muslimin tanpa dibarengi hujjah dan burhan (Abjadul
Ulum: 3/ 194).
Syekh Shiddiq Hasan Khan juga
menyatakan bahwa para ahli hadits berlepas diri dari pemahaman wahabiyyah.
Karena yang mereka tahu hanyalah pertumpahan darah[16].
Sedangkan dari kalangan ulama
yang berseberangan pemikiran dengannya, sebut saja Syekh Ibnu Afaliq al Hambali
yang pernah mengomentari sosok IAW dengan berkata:
“Dia (IAW) telah bersumpah dengan sumpah yang keji bahwa
Syekh Saulaiman bin Suhaim al Hambali
juga pernah berkomentar:
“Barang siapa yang tidak sepakat
dengan segala apa yang ia (IAW) katakan dan bersaksi bahwa perkataannya itu
benar, maka pasti akan divonis kafir. Dan barang siapa yang sepakat dan
membenarkan segala perkataannya maka ia akan berkata kepada orang tersebut, “Kamu
orang yang bertauhid”. Meskipun orang tersebut jelas-jelas fasiq”[18]. Syekh Ustman bin
Manshur al-Hambali al-Salafy al-Najdi yang merupakan salah satu hakim pada
pemerintahan para amir Daulah Su’udiyyah II, ia pernah berkata, “Allah telah
memberi ujian kepada penduduk Najd, bahkan kepada penduduk Jazirah Arab, dengan
adanya orang yang keluar kepada mereka dan melakukan pengkafiran atas umat
Islam, baik yang khusus (ulama) maupun orang awam, dan memerangi mereka secara
umum, kecuali orang yang sepakat dengan perkataannya”. Beliau juga berkata,
“Akan tetapi orang ini (IAW) telah
menjadikan ketaatan kepadanya sebagai rukun keenam dalam rukun Islam”[19]. Bahkan saudaranya
sendiri, Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab pernah berkata:
“Wahai Muhammad ibn Abdil Wahab,
berapa rukun Islam?”. Ia menjawab, “Lima”. Syekh Sulaiman berkata, “Kamu
menjadikannya enam. Yang keenam: Orang yang tidak
mengikutimu maka tidak dihukumi sebagai muslim. Ini menurutmu adalah rukun
Islam yang keenam”[20].
Ungkapan beberapa ulama di atas
mengenai sosok Ibnu Abdil Wahab bukanlah isapan jempol belaka.
Statemen-statemen takfiri dengan mudah dapat dijumpai di dalam kitab atau
risalah-risalah yang ia tulis. Agar hal ini tidak dianggap sebagai tuduhan
belaka, maka penulis akan menukilkan secara langsung statemen-statemen takfiri
tersebut dari kitab-kitab IAW atau dari beberapa kitab yang menukilnya. Penulis
hanya akan sedikit memberi komentar terhadap statemen-statemen tersebut, karena
sebenarnya statemen takfiri tersebut tanpa dikomentari pun sudah sangat
gamblang maksud dan tujuannya sehingga mudah dicerna oleh seorang akademisi
yang melek ilmu syariat.
Kasyfu Al- Syubhaat dan Doktrin “Takfir”
Kitab “Kasyfu al- Syubhaat” adalah
salah satu kitab Ibnu Abdil Wahab yang sangat gamblang menjelaskan kerangka
berpikirnya. Meskipun kitab ini sangat kecil, namun berisi detail mengenai
doktrin ideologi IAW kepada para pengikutnya. Secara global buku ini didiktekan
kepada para pengikutnya agar mereka memahami sifat-sifat kaum musyrikin dan
sifat-sifat kaum muslimin menurut versinya sendiri. Dalam buku ini ia berusaha
mensejajarkan kaum muslimin yang mengamalkan tabarruk, tawasul dan sejenisnya
dengan kaum musyrikin di era Nabi saw.. Pensejajaran ini merupakan langkah awal
untuk menghalalkan darah dan harta kaum muslimin, sebagaimana halalnya darah
dan harta kaum musyrikin yang menentang dakwah Nabi saw.. Oleh karena itu, IAW
tidak segan-segan memakai jalur kekerasan atau perang untuk menyebarkan
dakwahnya ini di kalangan kaum muslimin.
Dalam permulaan kitab “Kasyfu
Syubhaat” ini Ibnu Abdil Wahab berkata:
“Ketahuilah –semoga Allah
merahmatimu- bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Itu
adalah agama para rasul yang telah diutus oleh Allah kepada para
hamba-Nya. Rasul pertama adalah Nuh a.s. yang telah Allah utus kepada kaumnya
tatkala kaumnya ghuluww (berlebihan) pada kaum al-Shalihin;
yaitu: Waddan, Suwa’an, Yaghuts, Ya’uq
dan Nasra”[21].
Pernyataan pembuka ini begitu
sangat manis dan halus untuk dijadikan langkah awal pentakfiran kaum muslimin yang berbeda ideologi, sebagaimana dalam statemen-statemen
setelahnya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa aktivitas seperti
tabaruk, tawasul dan sejenisnya dalam pandangan IAW merupakan bentuk “ghuluww”
kepada kaum al-Shalihin. Bahkan ia menganggapnya sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Oleh
karenanya hal itu ia vonis sebagai sebuah kesyirikan. Terkait dengan statemen
IAW di atas, ia berusaha memberikan sebuah doktrin perdana kepada para
pengikutnya bahwa Nabi Nuh a.s. mendakwahkan tauhid kepada suatu kaum yang
berbuat “ghuluww” kepada kaum al-Shalihin. Dari doktrin
perdana ini ia berharap tercipta sebuah gambaran yang sama di benak setiap
pengikutnya bahwa keberadaanya di tengah kaum muslimin (yang tidak seideologi)
saat itu sama persis dengan keberadaan Nuh a.s. di tengah kaum musyrikin di
masanya. Jika harapan itu terwujud maka dengan sangat mudah sekali para
pengikutnya dapat digerakkan untuk memerangi kaum muslimin yang tidak sepaham
dengannya, karena kaum muslimin saat itu akan secara otomatis tervonis musyrik
dan halal untuk diperangi.
Kondisi kaum Nabi Nuh a.s. saat
itu tentunya sangat berbeda 180% dengan kaum muslimin yang hidup di zaman IAW. Karena kaum Nabi Nuh a.s. saat itu tidak hanya sekedar ghuluww
terhadap kaum al-Shalihin. Akan tetapi mereka secara terang-terangan
telah menyatakan menyembah berhala-berhala kaum al-Shalihin yang mereka pahat
sendiri dalam bentuk patung/berhala. Pernyataannya IAW di atas secara tidak langsung merupakan takfir terhadap
kaum muslimin yang berseberangan dengan pola pikirnya.
Tidak berhenti sampai di situ,
IAW mencoba untuk mendeskripsikan sifat-sifat kaum musyrikin di era Nabi saw.
dan secara paksa menyamakannya dengan sifat-sifat kaum muslimin di eranya, ia
berkata:
“Dan Rasul yang terakhir adalah Muhammad saw., dialah yang menghancurkan
gambar-gambar kaum al-Shalihin itu. Allah
mengutusnya kepada suatu kaum yang beribadah, menunaikan haji,
bersedekah dan banyak berdzikir kepada Allah. Akan tetapi mereka
(kaum kafir Quraisy) menjadikan sebagian makhluk sebagai perantara antara
mereka dengan Allah”[22].
Dari statement di atas kita dapat
memahami bahwa IAW ingin menggiring pemahaman para pengikutnya agar
berkesimpulan bahwa kaum muslimin tak ubahnya seperti kaum musyrikin. Dan jika
Nabi Muhammad saw. memerangi kaum musyrikin dengan sifat-sifat yang telah
disebutkan maka kita pun harus memerangi kaum muslimin yang telah musyrik
karena memiliki kesesuaian sifat dengan kaum musyrikin di zaman Nabi. Padahal
secara tinjauan historis klaim sifat-sifat tersebut tidak dapat dibenarkan.
Kita tidak menemukan catatan sejarah yang menyatakan bahwa kaum musyrikin
beribadah, banyak berdzikir dan menunaikan haji sebagaimana cara kaum muslimin
di era IAW menunaikannya. Yang kita temukan justru kaum musyrikin tersebut
menyembah berhala, tidak mengimani hari kiamat dan hari kebangkitan, serta
mengingkari risalah para nabi secara keseluruhan. Bagaimana bisa disejajarkan
antara kaum muslimin yang mengimani al-Nubuwwah
(kenabian) dengan kaum musyrikin yang tidak mengimaninya sama sekali?!. Adakah
sifat-sifat pengingkaran tersebut dalam diri kaum muslimin yang menyelisihi
ajaran IAW?. Tentu jawabannya tidak ada. Permasalahan khilafiyyah semisal al-Tabarruk,
al-Iistighatsah dan al-Tawassul menjerumuskan IAW
ke jurang yang sama dengan apa yang ia tuduhkan kepada lawan ideologinya yaitu al-Ghuluww
fi al-Din. Ia sangat berlebihan dalam menyikapi permasalahan ini.
Padahal seluruh permasalahan yang ia ingkari terhadap kaum muslimin saat itu
telah menjadi amalan mayoritas umat ini dan memiliki landasan argumentasi yang
kuat, baik secara historis maupun empiris.
Setelah mencoba mensejajarkan
sifat kaum muslimin dengan sifat kaum musyrikin, IAW menutupnya dengan
pernyataan demikian:
“Jika telah terbukti bahwa mereka
(kaum musyrikin) mengakui semua ini, namun tidak menjadikan mereka masuk dalam
tauhid yang didakwahkan oleh Rasulullah saw., maka kamu telah mengetahui bahwa
tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid ibadah (uluhiyyah) yang disebut oleh
kaum musyrikin di zaman kita dengan sebutan i’tiqad”[23].
Pernyataan di atas begitu sangat
gamblang bahwa IAW telah memvonis kaum muslimin yang berseberangan dengannya
sebagai kaum musyrikin. Karena kata i’tiqad sering dipakai oleh para
ulama dalam mengarang kitab tauhid, seperti kitab I’tiqaad wal Hidaayah ila
Sabiil ar Rasyaad karya Imam Baihaqi, al Iqtishaad fil I’tiqaad
karya Imam al Ghazali dan masih banyak lagi.
Lebih gamblang lagi, IAW
mengatakan:
“Wahai orang musyrik! Aku tidak
mengetahui makna Al Quran dan Hadits Nabi saw. yang kamu gunakan untuk berdalil
kepadaku”[24].
Dari pernyataan di atas kita
patut mempertanyakan: adakah kaum musyrikin yang melawan IAW dengan berdalil
dari Al Quran dan Sunnah?. Pernyataan di atas semakin mempertegas bahwa yang ia
maksud dengan orang-orang musyrik itu adalah kaum muslimin yang tidak mau
mengamini dakwah yang ia tawarkan. Tentunya sudah umum diketahui bahwa benturan ideologi yang terjadi antara IAW dan
lawan-lawannya sebenarnya benturan pemahaman ideologi antara sesama kaum
muslimin. Bukan benturan antara IAW dengan kaum non-muslim. Hanya saja IAW
terlalu berlebihan dalam memvonis syirik kaum muslimin yang berseberangan
dengannya.
Statemen-statemen di atas hanyalah sedikit dari sekian
banyak statemen pengkafiran dan pemusyrikan yang
bertaburan rata dari awal sampai akhir risalah kecil itu. Dalam penelitiannya,
Syekh Hasan bin Farhan, menemukan banyak sekali sebuah statemen pengkafiran
dalam beberapa risalah IAW yang terkumpul dalam sebuah kitab yang berjudul “Ad
Durar As Saniyyah”. Diantara statemen-statemen tersebut ada yang langsung
disematkan kepada orang tertentu, ada juga yang dipukulkan secara merata. Di
dalam kitab tersebut terdapat pengkafiran IAW terhadap para ulama Najd dan para
hakimnya, bahwa mereka tidak mengetahui ajaran Islam, dia berkata:
“Sungguh aku telah menuntut ilmu sampai orang-orang
yang mengenalku berkeyakinan bahwa aku telah menjadi alim. Padahal saat itu aku
belum mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah”, juga tidak tahu tentang agama
Islam, sebelum anugerah yang diberikan oleh Allah ini. Begitu juga para guruku,
tidak ada seorangpun yang mengetahui hal itu (makna Laa Ilaaha Illallah). Maka
barang siapa yang mengira bahwa ada ulama yang mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah”
atau mengetahui makna Islam sebelum saat ini, atau mengira bahwa salah satu
diantara para guruku mengetahuinya, maka sungguh dia telah berdusta dan
mengada-ada, serta menipu manusia dan memuji dirinya dengan hal yang tidak pantas
baginya”. (Ad Durar As Saniyah: 10/ 51)[25].
Vonis kafir juga disematkan secara personal, Syekh
Sulaiman bin Suhaim Al Hambali adalah salah satu korban vonis sadis itu. Dalam risalahnya
IAW berkata:
“Kami sebutkan kepadamu bahwasannya kamu dan bapakmu
secara terang-terangan telah terjerumus ke dalam kekafiran, kesyirikan, dan
kemunafikan…kamu dan bapakmu senantiasa bersungguh-sungguh memusuhi agama ini,
baik malam maupun siang!!..kamu adalah seorang penentang yang sesat dari ilmu
yang terpilih, kafir terhadap Islam!!...dan ini buktinya kitab-kitab kalian
isinya penuh dengan kekufuran kalian!!”. (Ad Durar As Saniyah: 10/ 31)[26].
Dalam beberapa halaman setelahnya, IAW berkata:
“Adapun Ibnu Abdil Lathif, Ibnu ‘Afaliq dan Ibnu
Mutthaliq, mereka itu adalah para penghina tauhid!... dan Ibnu Fairuz adalah orang
yang paling dekat dengan Islam dari kalangan mereka”. (Ad Durar As Saniyah: 10/
78)[27].
Dari ketiga statemen yang dinukil oleh Syekh Hasan bin
Farhan di atas semakin menambah dan memperkuat sebuah asumsi bahwa sebenarnya
IAW memang benar-benar ingin merombak agama ini dari akarnya. Bahkan kalau kita
cermati dari setiap alur tulisannya, ia berusaha menggiring pemahaman kaum
baduwi yang menjadi obyek dakwahnya untuk berkeyakinan penuh bahwa
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh kaum muslimin kala itu tidak lebih dari
perbuatan kaum musyrikin di zaman Nabi Saw. Jika pemahaman ini sudah dapat diterima,
maka konsekwuensi yang harus dilakukan adalah memerangi mereka dengan senjata
karena darah dan harta mereka hukumnya sudah halal, sebagaimana Nabi saw.
memerangi kaum musyrikin.
Ajakan untuk memerangi kaum muslimin itu begitu jelas
dalam statemen-statemen IAW setiap kali selesai mendeskripsikan persamaan
antara kaum muslimin di masanya dan kaum musyrikin di era Nabi saw..
Diantaranya adalah perkataannya:
Dalam catatannya, Syekh Hasan bin Farhan juga tidak
meninggalkan sifat keobyektifitasannya. Beliau juga menukil statemen-statemen
IAW yang menepis sikap “takfiri” yang disematkan pada dirinya. Bahkan ia
menuduh balik bahwa itu hanyalah propaganda lawan ideologinya. IAW mengingkari
bahwa telah memberhangus kitab-kitab empat madzhab (Ad Durar As Saniyah: 1/ 34,
10/ 13), padahal di tempat yang lain ia mengatakan bahwa kitab-kitab tersebut
adalah “’ainus syirk” (wujud kesyirikan) (Ad Durar: 2/ 59), juga
mengingkari bahwa ia telah mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan
orang-orang shaleh (Ad Durar: 10/ 13). Juga mengingkari telah mengkafirkan Imam
Al Bushairi sebab perkataannya dalam “nida’” (memanggil) Nabi Saw dengan
sebutan “Yaa akramal khalq” (Ad Durar: 9/ 34), padahal ia mengkafirkan
orang yang menyakini hal itu meskipun tidak menyebutkan nama Imam Al Bushairi.
Juga mengingkari pengkafiran terhadap Ibnu Farid (Ad Durar: 9/ 34), Ibnu Arabi
(Ad Durar: 9/ 34) padahal di tempat yang lain ia mengatakan bahwa Ibnu Arabi
adalah lebih kafir dari pada Fir’aun. Bahkan dia juga mengkafirkan orang yang
tidak mengkafirkan Ibnu Arabi dan kelompoknya (Ad Durar: 10/ 2, 25/ 45). Dia
juga mengingkari bahwa telah mengkafirkan orang yang bersumpah (al half)
dengan selain Allah (Ad Durar: 9/ 34, 10/ 13). Juga mengingkari bahwa telah
membakar kitab “Dalaailul Khairat” (9/ 80, 34), padahal tatkala mereka
(orang-orang wahabi) memasuki kota Makkah mereka membakar kitab tersebut (1/
228)[29].
Dalam menyikapi sikap “tanaqudh” (kontradiktif)
ini, Syekh Hasan bin Farhan memberikan sebuah kesimpulan bahwa:
1. Dalam kitab-kitab dan
kumpulan risalahnya, sering ditemukan statemen kontradiktif. IAW sering
mengingkari sesuatu yang ada di kitab dan risalahnya sendiri, serta berbalik
menuduh orang lain telah berdusta atas dirinya.
2. Karena segala yang
dituduhkan oleh lawan-lawan ideologinya itu ada di dalam kitab dan risalahnya
sendiri. Hal ini menunjukkan betapa kuat dan telitinya lawan-lawan IAW dalam
mengkritisi manhaj dakwahnya.
3. Adanya kontradiksi
statemen itu bisa jadi terjadi karena IAW lupa statemen-statemen sebelumnya,
atau hal itu lahir karena alasan politis semata.
4. Boleh jadi
orang-orang wahabi kotemporer yang mencetak kitab-kitab dan risalah-risalah IAW
telah berdusta atas namanya. Tapi hal ini sangat kecil kemungkinannya, karena
dalam kitab dan risalah yang terdapat pengingkaran akan “takfir” justru
ditemukan sikap “takfir” itu sendiri meskipun secara tersirat.
Sikap “Takfiri” Para Pengikut dan Perpecahan
Intern
Warisan sikap suka memvonis kafir kelompok dan orang
yang bersebrangan pendapat tetap terabadikan sampai sekarang. Hanya saja
menurut Syekh Hasan bin Farhan tensi umbar “takfir” terkesan
kondisional, tergantung kondisi politik yang berkembang[30]. Bahkan dalam perkembangannya pun sikap umbar “takfir”
ini tidak diterapkan oleh semua kelompok atau orang yang mengikuti manhaj
dakwah Ibnu Abdil Wahab. Mungkin hal ini disebabkan adanya sikap kontradiktif
yang terkandung dalam kitab dan risalah IAW. Hal ini tentunya akan berpengaruh
sekali pada generasi aliran wahabi setelahnya. Pasca era IAW, orang-orang yang
masih gemar menebar vonis “takfir” ini seperti Sulaiman bin Abdullah bin
Muhmmad, Hamd bin Abdul Aziz, Abdul Lathif bin Abdur Rahman, Abdullah bin Abdur
Rahman Al Babiti, Ibnu Sahman, Abdullah bin Abdil Lathif dan lainnya[31].
Karena di dalam intern aliran wahabi masih ada pro dan
kontra tentang parameter penerapan sikap “takfir”, maka perpecahan tidak
dapat dihindari lagi. Dalam keterangannya, Syekh Hasan bin Farhan menyatakan
bahwa aliran wahabi pasca meletusnya perang teluk ke II, terbagi menjadi 4
golongan. Masing-masing dari keempat golongan itu saling memvonis sesat kepada
yang lain[32]. Akan tetapi sangat disayangkan sekali beliau tidak
menegaskan dengan gamblang keempat kelompok tersebut. Perpecahan itu juga
diamini oleh DR. Yusuf Al Qaradhawi yang dituangkan di sela-sela bukunya yang
berjudul “As Shahwah Al Islamiyah Minal Murahaqah Ilar Rusyd”. Dalam
buku ini DR. Yusuf Al Qaradhawi membagi afiliasi aliran wahabi menjadi tiga
bagian[33].
1. Sururiyyun
(siyasiyyun)
Sempalan aliran wahabi ini dinisbatkan kepada
seorang da’i dari Syiria yang bernama Surur Zainul Abidin. Pada awalnya dia
masuk dalam barisan pergerakan Ikhwanul Muslimin, kemudian menyempal dan
membuat gerakan sendiri. Kelompok ini mempunyai ambisi politik yang sangat
kuat, sebagaimana ambisi mereka dalam dakwah tauhid. Kelompok ini menentang
keras ikut campur Amerika dalam perang teluk ke II, serta menentang kebijakan
politik Kerajaan Saudi Arabiah yang terkesan lamban. Oleh sebab itu, para
tokoh gerakan ini acap kali keluar-masuk penjara sebab arogansi politik itu.
Dalam wilayah Saudi Arabiah tokoh-tokoh seperti Salman Audah, Safar Hawali,
Aid Al Qarni dan lainnya yang termasuk sealur dengan sempalan aliran wahabi
ini mengalami pencekalan dari pemerintah dan ulama setempat.
|
2. Al Baniyyun
Kelompok ini dinisbatkan kepada Syekh Muhammad
Nasiruddin Al Albani. Garapan yang menjadi titik tekan kelompok ini adalah “harbu
tamadzhub” (memerangi tradisi bermadzhab) atau taklid dengan satu
madzhab tertentu meskipun orang awam. Akan tetapi, uniknya, para pengikut
kelompok ini justru bertaklid kepada Syekh Al Bani, dan hal itu
seakan-akan menjadi madzhab yang ke lima dalam pandangan mereka.
3. Jamiyyun
(Madkhaliyun)
Kelompok ini dinisbatkan kepada Syekh Aman Al Jami.
Tokoh yang sangat berpengaruh dan kesohor dalam kalangan generasi sempalan
aliran wahabi yang ini justru murid beliau yang bernama Rabi’ bin Hadi Al
Madkhali. Oleh sebab itu banyak kalangan yang menyebutkan Madkhaliyun sebagai
pengganti dari Jamiyyun. Generasi sempalan inilah yang dengan terang-terangan
melestarikan budaya takfir[34] yang menjadi ciri khas aliran wahabi semenjak
kemunculannya. Seakan menghina para ulama baik ulama klasik maupun kontemporer
adalah tugas suci utama dan pertama mereka. Hampir tidak ada ulama umat ini
yang selamat dari lisan mereka. Taruhlah contohnya seperti Imam Nawawi
pensyarah terbaik kitab shahih Muslim dan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqani[35] pensyarah terbaik kitab shahih Bukhari. Keduanya
telah tervonis sesat karena dalam masalah akidah keduanya berafiliasi kepada
Asy’ariah. Kalangan ulama kontemporer seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutub,
Muhammad Al Ghazali, Yusuf Al Qardhawi, Muhammad Imarah, Fahmi Huwaidi, Ali At
Thanthawi dan lainnya tidak terlepas dari vonis sesat mereka[36].
Hasil kajian Syekh Hasan bin Farhan dan DR. Yusuf Al
Qaradhawi di atas juga dikuatkan dengan data yang berhasil dikumpulkan oleh
Syekh Abdul Ghani Ar Rifa’i. Dalam bukunya, beliau menuliskan akan adanya sikap
“takfir” yang dilakukan oleh para pengikut aliran wahabi. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Syekh Al Qonuji dalam bukunya “Ad- Diin al Khalish”
(1/ 140), dia menyatakan bahwa taklid kepada madzhab-madzhab yang ada merupakan
bentuk dari kesyirikan. Dia juga memvonis syirik Siti Hawa di kitab yang sama
(hal: 160). Demikian juga dengan Syekh Ali bin Muhammad bin Sinan seorang
pengajar di Masjid Nabawi dan Islamic University of Madenah dalam kitabnya “al
Majmu’ al Mufid min Aqidatit Tauhid” (hal: 55), dimana dia menyeruhkan
kepada kaum muslimin untuk memerangi tarekat-tarekat sufi sebelum akhirnya
memerangi Yahudi dan Majusi. Pengkafiran dilakukan juga oleh mereka terhadap
mayoritas ulama dunia sebagaimana yang tertera dalam kitab “Fathul Majid”
(hal: 190), juga terhadap penduduk Mesir karena mereka dianggap telah menyembah
Ahmad Al Badawi, penduduk Iraq dan sekitarnya seperti Oman dikarenakan mereka
dianggap telah menyembah Abdul Qadir Al Jailani, penduduk Syam (Syiria) karena
mereka telah dianggap menyembah Ibnu Arabi, juga penduduk Najd dan Hijaz serta
Yaman sebelum datangnya dakwah wahabi[37].
Demikian juga komentar Bin Baz dalam menanggapi
tawassul seorang sahabat Nabi yang bernama Bilal bin Al Harist Al Muzani. Dalam
komentarnya, Bin Baz mengatakan bahwa yang dilakukan sahabat tersebut adalah
termasuk hal yang menjurus kepada kesyirikan[38]. Tidak mau ketinggalan Syekh Ibnu Utsaimin dalam
kitabnya “Liqaul Babil Maftuh” telah mengeluarkan Al Hafidz Ibnu Hajar
Al Asqalani dan Imam Nawawi dari barisan ahlussunnah wal jama’ah. Dan masih
banyak lagi spirit-spirit takfir yang diperagakan oleh para punggawa aliran
wahabi dari zaman ke zaman.
Bukan hanya di dunia arab, ternyata fenomena takfir
dewasa ini juga laris bak kacang goreng di pasaran wacana tanah air kita.
Baru-baru ini telah terjadi perang takfiri antar sesama generasi wahabi
sendiri. Hal ini bermula dari sebuah buku yang dikarang oleh Imam Samudra yang
merupakan salah satu pelaku bom Bali yang berjudul “Aku Melawan Teroris”. Buku
ini dapat bantahan sangat keras dari salah seorang generasi wahabi tanah air
yang beraliran keras yang bernama Luqman bin Muhammad Ba’abduh[39] dalam bukunya “Mereka Adalah Teroris; Sebuah Tinjauan
Syari’at”. Ternyata, tulisan yang mulanya ingin ditujukan kepada Imam Samudra
melebar kemana-mana, sehingga banyak kalangan dari kalangan wahabi sendiri yang
kebakaran jenggot, karena tersinggung. Oleh sebab itu, tergeraklah seorang
Abduh Zulfidar Akaha –yang sebenarnya juga termasuk generasi aliran wahabi-
untuk mengangkat penanya guna membantah buku Luqman tersebut dalam sebuah buku
yang berjudul “Siapa Teroris? Siapa Khawarij?”. Dalam nukilannya di tengah
mengkritisi tulisan Luqman, Abduh Zulfidar mengutip sebuah pernyataan Luqman
yang bernada takfiri, yang berbunyi:
“Perlu pembaca sekalian mengetahui, bahwa penduduk
Iraq itu ada dua model:
1. Rafidhah
Ja’fariyyah, yang umat telah sepakat mereka itu kafir. Kebanyakan kaum
muslimin di Iraq itu fasik, khamr di kalangan mereka tak ubahnya seperti air
saja. Mereka itu bukan orang-orang shalih.
2. Sedangkan model
lainnya adalah Kaum Ba’tsiyyah, yang siang dan malam selalu menyatakan:
آمنت
بالبعث ربا لا شريك له
وبالعروبة دينا ما له ثانى
“Aku beriman kepada (kebenaran)
Partai Ba’ts sebagai Rabb yang tiada sekutunya. Dan (aku beriman kepada)
Nasionalisme arab sebagai agamaku yang tidak ada tandingannya”.
Karena Luqman telah membatasi model penduduk Iraq itu
hanya dua saja, dan ternyata yang pertama divonis kafir sedangkan yang kedua
divonis tidak beragama. Jadi, kesimpulan yang dapat kita tangkap adalah bahwa
penduduk Iraq itu tidak ada satupun yang muslim. Dan ini tentunya hanya sebuah
lelucon atau dagelan yang selalu dijajakan tanpa adanya penelitian yang cermat.
Lebih dari itu, pernyataan semacam itu secara jelas merupakan bentuk pengkafiran
terhadap seluruh penduduk Iraq- Na’udzubillah-. Saling serang antar
sesama generasi wahabi inipun banyak sekali bertebaran di berbagai forum
diskusi di dunia maya.
Nampaknya Luqman Ba’abduh tidak rela bukunya dibantah,
oleh sebab itu dia mengeluarkan bantahan balik dengan judul buku “Menebar Dusta
Membela Teroris Khawarij”. Berita terkini mengatakan bahwa Luqman Ba’abduh
tidak berani datang saat ditantang debat terbuka oleh Abduh Zulfidar Akaha.
Akankah saling hujat antar generasi wahabi terus berlanjut? Kita simak saja
berita-berita menarik tersebut dalam layar kaca internet dan buku-buku yang
akan terbit.
C. Segi Tiga Tauhid; Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma`
Sifat
Pengkafiran yang acap kali dilontarkan oleh Syekh Ibnu
Abdil Wahab tidak terlepas dari klasifikasi tauhid yang ia terapkan.
Klasifikasi tauhid menjadi tiga; rububiyyah, uluhiyyah dan al-Asma` wa al-Sifat,
sebenarnya bukan merupakan ijtihad IAW. Akan tetapi ia hanya sekedar mengikuti
apa yang telah digagas oleh Ibnu Taimiyah jauh hari sebelumnya. Bahkan ia
bukanlah orang pertama yang mengikuti gagasan pembagian tauhid tersebut.
Sebelumnya sudah ada Ibnu Qayyim yang bisa dikatakan adalah foto copy Ibnu
Taimiyah karena hampir tidak ditemukan pendapatnya yang bertentangan dengan
gurunya tersebut. Demikian juga, Ibnu Abil ‘Izz dalam syarah akidah
tahawiyahnya[41].
Dengan pembagian tauhid menjadi tiga ini, Ibnu
Taimiyah sebagai bapak dari pembagian ini -yang selanjutkan diikuti oleh IAW-
menyatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy sebenarnya mengakui tauhid rububiyah,
yaitu mengakui bahwa Allah adalah Sang Pencipta. Hal ia buktikan dengan
beberapa ayat, seperti firman Allah swt. yang artinya, “Kami tidak menyembah
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang pendusta dan sangat kafir (ingkar)”. (az Zumar:
3). Juga firman-Nya, “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:
"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka
menjawab: "Allah".” (az Zumar: 38). Juga firman-Nya, “Dan
Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah".
Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak
Mengetahui”. (Luqman: 25).
Satu hal penting yang ingin ditegaskan oleh Ibnu
Taimiyah berdasarkan ketiga ayat di atas, yaitu bahwa kaum musyrikin telah
meyakini bahwa Allah sebagai Tuhan (Pencipta). Dengan demikian, dalam tataran
ini kaum muslimin dan musyrikin tidak ada bedanya. Oleh sebab itu, kaum
muslimin membutuhkan dua kriteria tauhid yang lain agar benar-benar bisa
dikatakan telah masuk Islam. Kedua tauhid itu adalah tauhid uluhiyyah dan
tauhid al-Asma` wa al-Sifat. Pendapat inilah yang pada gilirannya
melahirkan sikap takfir terhadap kaum muslimin yang dipandang telah berbuat
kesyirikan karena aktivitas tabarruk dan sejenisnya. Padahal
kalau kita teliti lebih jauh, sebenarnya jawaban kaum musyrikin Quraisy dalam
ketiga ayat tersebut merupakan sebuah keterpaksaan karena tidak bisa menjawab
yang lain saat Nabi saw. mendebat mereka. Sudah umum diketahui bahwa Nabi saw.
diperintah oleh Allah swt. untuk mendebat kaum musyrikin dalam rangka
menyebarkan agama tauhid ini, sebagaimana firman Allah swt. yang artinya, “Dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (an Nahl: 125).
Jawaban kaum Quraisy bahwa mereka tidak menyembah
berhal-berhala melainkan hanya menjadikannya untuk mendekatkan diri kepada
Allah adalah sebuah kedustaan[42]. Jika mereka telah benar-benar mengimani bahwa Allah
adalah Tuhan atau Sang Pencipta niscaya Allah tidak akan menyuruh mereka untuk
berpikir mengenai alam semesta agar mereka beriman akan eksistensi Allah. Itu
sebagaimana perintah Allah swt. dalam firman-Nya:
“Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Onta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana
ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana
ia dihamparkan?. Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah
orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”. (al Ghaasyiyah:
17-22).
Bahkan sebenarnya Allah swt. pun telah menyatakan
bahwa pernyataan mereka itu adalah kedustaan, sebagaimana di akhir ayat 3 surat
az Zumar di atas yang menyatakan bahwa mereka adalah pendusta dan sangat ingkar
(kafir). Kaum musyrikin sudah biasa berdusta untuk menutupi sifat buruk mereka.
Hal ini telah dinyatakan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
“Mereka
menyenangkan hatimu dengan mulut mereka,
sedang hati
mereka menolak”. (at Taubah: 8).
Bahkan kita banyak menemui ayat-ayat yang menunjukkan
bahwa kaum musyrikin tersebut sama sekali tidak mempercayai bahwa Allah adalah
Tuhan. Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah swt.:
“Mereka
mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan”. (Yaasiin: 74),
“Dan mereka berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di
dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita
selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang
itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”.
(al Jaatsiyah: 24).
Dengan banyaknya ayat yang menjelaskan bahwa kaum
musyrikin telah mengingkari adanya Allah, maka sangatlah tidak patut ada orang
yang mengatakan bahwa kaum musyrikin tersebut sebenarnya beriman akan eksistensi
Allah swt..
Terkhusus masalah asma` sifat, sebenarnya Syekh Ibnu
Abdil Wahab tidak begitu banyak berbicara masalah ini. Karena sejatinya
masalah ini begitu sangat pelik dan membutuhkan energi super dan napas
panjang untuk membicarakannya. Menjelaskan ke orang awam masalah ini tidak
semudah menjelaskan masalah tauhid rububiyah dan uluhiyah dalam istilah IAW.
Namun menurut Syekh Abdul Aziz hal itu disebabkan karena penduduk Najd tidak
mengalami penyimpangan dalam tauhid asma` sifat ini[43]. Oleh sebab itu tidak ditemukan
pernyataan IAW sangat terperinci dalam hal ini sebagaimana dalam masalah yang
disebut tauhid rububiyyah dan uluhiyyah sebelumnya. Akan tetapi demi
melengkapi pembahasan ini, penulis mencoba untuk memahami masalah ini dari
para pengikutnya.
|
Meskipun permasalahan ini nyaris kurang nyaring
suaranya di era Ibnu Abdil Wahab. Akan tetapi, pasca munculnya trio imam
wahabi; Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin dan Muhammad
Nashiruddin Al Albani diskusi panas masalah al-Asma` wa al-Sifaat
lumayan cukup terangkat ke permukaan. Bahkan dakwah dibidang ini nampaknya
sudah menjadi menu utama para pengikut wahabi. Banyak sekali buku mengenai hal
ini dikarang oleh generasi wahabi desawa ini, baik itu oleh para ulamanya
maupun oleh para pemudanya. Umumnya tulisan-tulisan mereka tersebut tidak
memiliki perbedaan signifikan antara satu dan lainnya. Bisa kita katakan
sebanyak apapun kitab yang dicetak dengan judul yang berbeda, intinya tetap
sama saja. Hal itu dikarenakan muara subtansi tulisan-tulisan itu tidak keluar
dari apa yang digagas oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab-kitabnya semisal Al
Aqidah Al Wasithiyyah, Ar Risalah Ad Tadmuriyyah, Al Aqidah
Al Hamawiyyah, dan Dar’ut Ta’arudl (plus kumpulan fatwa dan
risalahnya).
Dalam pembahasan singkat beberapa paragraf di bawah
ini penulis berusaha meringkas seraya mengkritisi pemahaman IAW pada khususnya,
dan seluruh pengikut wahabi pada umumnya, terkait masalah al-Asma` wa al-Sifat
atau lebih dikenal dengan sifat khabariyyah ini. Dalam pembahasan masalah ini,
sering sekali kita dengar dari kalangan salafi (wahabi) mengenai dikotomi salaf
dan khalaf. Salaf dalam pandangan mereka bersikap “isbat”[44] sebagaimana yang mereka imani, sedangkan khalaf
bersikap “takwil” atau “tafwidl”. Secara garis besar, setidaknya ada 4 poin
kredo mereka dalam berinteraksi dengan ayat dan hadis al-Sifaat:
Menggolongkan ayat dan hadis al-Sifat tersebut
ke dalam golongan ayat dan hadis muhkamât.
Boleh mentafsirkan ayat dan hadis al-Sifat.
Memahami ayat dan hadis al-Sifat itu sesuai
dhahirnya.
Tidak mentafwidl dan mentakwilkannya.
Dari keempat kredo dasar tersebut, kita akan mencoba
untuk mengkritisinya dengan cara merujuk keabsahannya dari berbagai kitab dan
disiplin ilmu keislaman. Dalam beberapa literatur, mereka selalu mengklaim
bahwa kredo dasar mereka inilah merupakan kredo dasar salaf dan ahlussunnah.
Benarkah klaim semacam itu dapat teruji secara ilmiah?. Jawabannya akan penulis
jelentrehkan perpoin.
Kredo Pertama
Dalam kredo pertamanya, aliran wahabi menggolongkan
ayat dan hadis sifat ke dalam golongan ayat dan hadis muhkamat.
Keputusan ini nampaknya berlawanan dengan apa yang dipaparkan oleh para ahli/ulama
ulumul Quran, seperti al-Zarkasyi dalam al-Burhan[45], al-Suyuthi dalam Al Itqan[46], al-Zarqani dalam Manahilul ‘Irfan[47]. Begitu juga bersebrangan dengan para ulama
hadis seperti Imam Al Khattabi dalam Ma’alim al-Sunan, Imam Al Baihaqi dalam al-Asma’
Wa Sifat[48] dan Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[49]. Demikian juga dengan pakar usul fikih semisal As
Syathibi dalam al-Muwafaqatnya[50], pakar sejarah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya[51] dan masih banyak lagi.
Kredo Kedua
Dalam masalah bolehnya mentafsiri ayat dan hadis al-Sifat
tersebut. Ternyata aliran wahabi juga bersebrangan dengan riwayat-riwayat dari
generasi salaf. Kredo Aimmah al-Salaf justru tidak memperbolehkan untuk
mentafsiri ayat dan hadis al-Sifat tersebut. Mereka mencukupkan diri
untuk mengimani tanpa mencari maknanya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan
oleh al-Imam At Turmudzi dari Sufyan At Tsauri, Malik bin Anas, Ibnu al-Mubarak,
Ibnu ‘Uyainah, Waki’ dan lainnya[52]. Imam Ad Dzahabi juga meriwayatkan hal yang sama dari
Imam Malik[53]. Hal serupa juga diamini oleh Imam Al Baihaqi[54]. Pendapat ini dipertajam oleh Imam Al Qurthubi dalam
tafsirnya “al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an” dengan menyatakan bahwa mayoritas aimmah
al-Salaf termasuk di dalamnya Imam Malik, tidak mentafsirkannya. Bahkan
beliau memvonis orang yang mentafsirkannya sesuai makna dhahir bahasa arab,
mereka adalah golongan musyabbihah[55]. Ketegasan yang diambil oleh Imam Al Qurthubi ini
juga sama persis dengan yang didedahkan oleh Imam Zarkasyi[56].
Kredo Ketiga
Memahami ayat dan hadis al-Sifat secara dhahir
ada dua kemungkinan dan pengertian. Pertama, jika yang dimaksud adalah membiarkan
ayat dan hadis al-Sifat itu sesuai zhahirnya (ijra’ ‘ala dzawahiriha)
dengan dibarengi sikap diam (al-Sukut) tanpa tafsir, maka itulah sikap
mayoritas para aimmah al-Salaf yang sering disebut tafwidl.
Kedua, jika yang dimaksud adalah membiarkan ayat dan hadis al-Sifat itu
sesuai zhahirnya dengan dibarengi penafsiran secara tekstual bahasa arab, maka
itulah yang divonis oleh Imam Al Qurthubi dan Imam al-Zarkasyi sebagai sikap
golongan musyabbihah. Dan ternyata sikap aliran wahabi dalam masalah ini secara
jelas mengimani pengertian yang kedua dan secara otomatis sudah tervonis
sebagai sikap golongan kaum musyabbihah, kalau kita mengacu pada pendapat Imam
Al Qurthubi dan Imam Zarkasyi. Bahkan Imam al-Syatibi dalam kitab Al
I’tishamnya ketika menjelaskan mengenai macam-macam sebab masuknya bid’ah dalam
syari’at Islam, beliau memvonis ahli bid’ah terhadap orang-orang yang berpaham
zhahiri dalam ayat dan hadis al-Sifat ini[57].
Kredo Keempat
Dalam kredo dasar yang keempat ini mereka menolak
untuk mentakwil dan mentafwidl dalam menyikapi ayat dan hadis al-Sifat
tersebut. Mereka memandang kedua sikap itu adalah bentuk dari sebuah kekufuran,
kedustaan dan penyimpangan. Dalam salah satu fatwanya Ibnu Taimiyah yang
merupakan sumber ide dan pikiran aliran wahabi mengeluarkan vonis bahwa kedua
sikap tersebut merupakan kekufuran dan kedustaan[58]. Tidak kalah ekstrimnya, dalam kitabnya yang lain “Dar`u
Ta’arudlil ‘Aqli Wan Naql” Ibnu Taimiyah juga memvonis sikap tafwidl adalah
sejelek-jelek perkataan para ahli bid’ah dan atheism (ilhâd)[59]. Sikap ektrim ini diterima dengan tanpa kritik oleh
semua pengikut aliran wahabi baik yang klasik maupun yang kontemporer.
Dalam berbagai tulisan, baik yang berwujud kitab/buku,
ataupun yang bergentayangan di situs-situs internet, mereka sering mengklaim
bahwa pemahaman mereka inilah yang sesuai dengan generasi salaf. Padahal justru
mereka inilah yang menghidupkan lagi paham-paham kaum mujassimah dan
musyabbihah yang sejak generasi salaf telah divonis sesat. Mereka sering
melabelkan beberapa cap kepada ahlussunnah yang memakai metode takwil dengan
jahmiyyah[60] dan mu’atthilah, karena telah mentakwil atau
mentafwidlkan makna al-Asma’ wa al-Sifat. Dalam beberapa paragraf
berikut akan kita bahas bahwa paham takwil dan tafwidl merupakan dua paham
ahlussunnah yang selalu dipakai oleh generasi al-Salaf maupun al-Khalaf.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi[61].
a) Takwil
Takwil dalam permasalahan ayat dan hadis al-Sifat
merupakan hal yang boleh dilakukan selagi tidak keluar dari pemahaman dan
aturan gramatikal bahasa arab itu sendiri. Karena kalau kita teliti ulang
teks-teks para ulama ahlussunnah baik salaf maupun khalaf ternyata banyak
sekali yang masih memegang sikap ini. Bahkan Ibnu Abbas yang mendapat keutamaan
do’a Baginda Sayyidina Rasulillah Saw agar diberikan pemahaman atas Al Quran[62], juga ternyata memakai metode takwil dalam beberapa
kasus. Hal ini sebagaimana takwilan beliau terhadap kata “sâq”
ditakwilkan dengan kata “syiddah”[63]. Imam Nawawi ketika menjelaskan tentang hadis “nuzul”
(turun)nya Allah di sepertiga malam terakhir menukil bahwasannya Imam Malik –rahimahullah-
mentakwilkannya bahwa yang turun adalah rahmat, perkara dan malaikat-Nya[64].
Demikian juga, Al Hafidz Ibnu Katsir dalam kitabnya “Al
Bidayah Wa An Nihayah” menukil takwil Imam Ahmad bin Hambal mengenai permasalahan
maji’ (datang)nya Allah swt. yang tertera dalam surat Al Fajr: 22
ditakwilkan dengan tsawab (pahala)[65]. Tatkala mengomentari sebuah ayat dalam surat Al
Qashash yang berbunyi “kullu syain hâlik illa wajhahu” Imam Bukhari
mentakwilkan kata “wajhahu” dalam ayat tersebut dengan “mulkahu”[66].Dalam kitab “al Asma’ wa ash Shifat” Imam Al Baihaqi
juga menukil pentakwilan Imam Bukhari terhadap kata “dhahak” dengan “rahmah”[67]. Dan masih banyak lagi para pembesar ulama
umat ini yang memakai metode takwil dalam beberapa tempat yang berkaitan dengan
al-Asma’ wa al-Sifat. Bahkan dalam masalah hadis Jariyah yang menyatakan
bahwa Allah itu berada di langit[68], Imam Nawawi menukil perkataan al-Qadli ‘Iyadh yang
menegaskan bahwa kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) dalam mentakwilkan
hadis tersebut[69]. Imam At Tirmidzi dalam kitab sunannya juga memakai
metode takwil ini ketika mengomentari hadis yang berbunyi “lau adla ahadukum
bihablin lahabatha ‘alallah” (hadis nomor: 3298), beliau mentakwilkannya
dengan “ilmullah”[70]. Pentakwilan Imam Tirmidzi ini divonis oleh Ibnu
Taimiyah sebagai sebuah pentakwilan yang sangat fatal kesalahannya (dhahirul
fasad) karena sejenis dengan takwil sekte Jahmiyyah[71]. Vonis serupa diikuti oleh murid yang setia
mengikutinya Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah, dalam kitabnya “As Shawaiq Al
Mursalah”[72].
Sebenarnya masih banyak para ulama baik klasik (salaf)
ataupun kontemporer (khalaf) yang masih melakukan metode takwil ini dalam
beberapa tempat, seperti Imam al-Nadlar bin Syumail, Hisyam bin ‘Ubaid, Sufyan
At Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir At Thabari, Ibnu Hibban, Abu al-Hasan
Al Asy’ari, Imam Baihaqi, Ibnul al-Jauzi, Imam Nawawi, Al Hafidz Ibnu Hajar dan
sederetan ulama tafsir, hadis dan fikih lainnya.
b) Tafwidl
Metode penyikapan kedua yang sangat getol diperangi
oleh aliran wahabi adalah al-Tafwidh. Ciri metode ini adalah
tidak menafsirkan ayat atau hadis al-Sifat tersebut secara harfiyyah
(tekstual). Akan tetapi mengimani dan membenarkan teks-teks itu seraya
menyerahkan maknanya kepada Allah swt.. Sebenarnya banyak sekali para ulama
yang juga berpegang teguh dengan metode ini dibeberapa tempat. Dalam syarah
shahih muslim, Imam Nawawi mengatakan bahwa mayoritas ulama generasi salaf
menggunakan metode ini dalam berinteraksi dengan ayat dan hadis al-Sifat[73]. Dengan adanya pernyataan Imam Nawawi ini rasanya
agak mengherankan jika Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya (aliran wahabi),
memvonisnya kafir dan mulhid (atheis) yang melakukan metode Tafwidh.
Ibnu Qudamah dalam “Lum’atul I’tiqad” menukil dua
riwayat imam umat ini; Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, mengenai permasalahan
teks-teks ayat dan hadis al-Sifat. Setelah penukilan perkataan
kedua imam tersebut, Ibnu Qudamah memberikan kesimpulan bahwa ayat dan hadis al-Sifat
tersebut harus diimani dan diterima, tidak ditakwil, serta diriwayatkan
lafadlnya saja tanpa harus menentukan maknanya seraya menyerahkan maknanya kepada
Dzat yang berfirman[74]. Pengertian serupa juga dijelaskan oleh Imam Al
Baihaqi ketika menjelaskan akidah ahli hadis dalam kitab I’tiqadnya[75], Imam Al Ghazali dalam Qowaidul ‘Aqaid[76] dan Iljamul Awwam ‘an ‘Ilmi al-Kalam[77], Imam Fakhruddin Ar Razi dalam Asasus Taqdis[78], Ma’alim fi Usuliddin[79], dan kitab Arba’innya[80]. Tidak mau ketinggalan Imam al-Dzahabi yang merupakan
salah satu murid Ibnu Taimiyah yang berbeda dari pemahaman gurunya juga
mengeluarkan statemen tafwidl ini dalam kitab Siyar A’lam Nubala’[81]. Imam al-Suyuthi dalam Al Itqan mengeluarkan statemen
yang tidak berbeda dengan apa yang dikatakan oleh para ulama ahlussunnah
pendahulunya bahwa madzhab tafwidl ini merupakan madzhab mayoritas ahlussunnah
dari generasi salaf dan ahlu hadis[82]. Dan seabrek ulama ahlussunnah lainnya.
D. Wahabi dan Konsep Bid’ah
|
Imam Abu Zahrah dalam tarikhnya ketika membicarakan
aliran wahabiyyah beliau menyatakan dalam poin ke-7 bahwa aliran wahabiyah
telah memperluas cakupan makna bid’ah. Perluasan makna bid’ah itu beliau
katakan sebagai sebuah tindakan yang aneh[83]. Hal ini memang sangat wajar ketika melihat berbagai
pendapat yang dikeluarkan oleh kelompok ini. Bahkan tidak jarang beberapa
pendapat yang menyalahi jumhur ulama. Satu kasus yang selama ini getol sekali
diperangi oleh mereka adalah pembagian pengertian bid’ah menjadi dua; hasanah
(baik) dan sayyi’ah (jelek). Mereka sangat alergi sekali dengan pembagian makna
bid’ah ini. Padahal kalau kita mau me-rechek pemahaman ini secara
seksama di beberapa literatur Islam klasik, maka kita akan menemukan bahwa para
pembesar umat ini baik al-Salaf maupun al-Khalaf
seakan sepakat untuk membaginya menjadi dua atau bahkan lebih.
Yang paling sangat masyur dalam pembagian bid’ah
menjadi dua ini adalah Imam al-Syafii –rahimahullah-. Pendapat Imam al-Syafii
ini dinukil oleh Imam Baihaqi dengan sanad muttasil dalam manaqib al-Syafii.
Juga oleh Al Hafidz Ibnu ‘Asakir dalam kitab al-Tabyin nya[84] dan Imam al-Suyuthi dalam Husnul Maqashid[85]. Pembagian yang dilakukan oleh Imam Syafii ini
berlandaskan pada perkataan Sayyidina Umar r.a[86] dalam permasalahan shalat tarawih berjama’ah[87]. Pembagian pengertian seperti yang dipahami oleh Imam
Syafii ini pun banyak sekali dianut oleh Jumhur Ulama umat ini seperti Imam Al
Ghazali, Ibnu al-Atsir[88], Al Hafidz Badruddin Al Aini[89], Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani[90], Imam Al Karmani[91]. Bahkan Imam Izz bin Abdussalam memperluas lagi
pembagian bid’ah tersebut sesuai pembagian hukum taklifiyyah; wajib, sunnah,
haram, makruh dan mubah[92]. Pendapat Imam Izz bin Abdussalam ini diikuti oleh
Imam Nawawi dalam beberapa kitabnya[93].
E. Para Penentang Aliran Wahabi
Pemahaman yang sangat ekstrim ini memicu timbulnya
para penentang baik dari kalangan yang tidak kalah ekstrimnya maupun yang masih
berpegang pada sikap wasathiyyah (moderat). Diantara nama-nama penentang gerakan dakwah
yang diprakarsai oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab ini adalah:
Sulaiman bin Ahmad bin Suhaim Al Hambali An Najdi
(1130- 1181 H). Beliau adalah seorang ahli fikih daerah Riyadl. Ayah beliau
juga termasuk barisan para ulama yang menentang dakwah wahabi ini. Beliau
termasuk keturunan Qabilah ‘Anzah. Pasca berkuasanya sekte wahabi di daerah
Riyadl, beliau mengungsi di daerah Az Zubair sampai wafat di sana. Beliau
termasuk deretan ulama yang dikafirkan oleh Syekh Muhammad bin
Abdul Wahab.
Sulaiman bin Abdul Wahab At Tamimi An Najdi (1208 H)
saudara kandung Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Kapabilitas keilmuan agama
Syekh Sulaiman oleh pengakuan ulama pada masanya, melebihi saudaranya tersebut.
Beliau sangat pakar dalam fikih madzhab hambali, dan termasuk qadli (hakim)
daerah Najd. Beliau dilahirkan di daerah ‘Uyainah, menuntut ilmu di daerah
Huraimala’ semasa orang tuanya masih hidup. Pasca jatuhnya daerah Huraimala’ ke
tangan sekte wahabi, beliau mengungsi ke daerah Sadir. Sebelum adanya dakwah
wahabi ini, beliau mempunyai banyak pengikut di daerah ‘Uyainah dan Dar’iyyah.
Tidak jarang beliau mengirim surat kepada para pengikutnya untuk menghindari dakwah
takfiri yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
Muhammad bin Abdur Rahman bin ‘Afaliq Al Hambali Al
Ahsai (1100- 1164 H). Beliau merupakan salah satu ulama daerah Ahsa’. Beliau
adalah seorang pakar fikih serta mempunyai wawasan keagamaan yang sangat luas.
Beliau mempunyai banyak karangan kitab di bidang fikih dan ilmu falak. Karena
dakwah beliaulah pimpinan daerah ‘Uyainah Ustman bin Mu’ammar berpaling dari
dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, padahal beliau selalu berada di samping
sang pemimpin. Hal ini disebabkan oleh kekuatan argumentasi yang diberikan Ibnu
‘Afaliq, sehingga dapat membuat Ibnu Mu’ammar berpaling dan enggan untuk
menolong dakwah Muhammad bin Abdul Wahab. Beberapa risalah Ibnu ‘Afaliq yang
dikirim kepada Ibnu Mu’ammar dapat membungkam argumen-argumen Muhammad bin
Abdul Wahab. Oleh sebab itu, Muhammad bin Abdul Wahab mengkafirkannya.
Abdullah Al Muwais (1175 H). Beliau seorang ahli fikih
daerah Hurmah yang terletak ditengah-tengah kawasan Najd. Nama lengkap beliau
adalah Abdullah bin Isa At Tamimi yang lebih dikenal dengan sebutan Al Muwaisi
atau Al Muwais. Beliau termasuk deretan para pembesar ulama Najd, dan ini
diakui juga oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Perjalanan keilmuan, beliau
mulai dari daerah Najd kemudian mengembara ke daerah Syam untuk belajar kepada
Syekh As Safarini. Dengan keluasan ilmu yang beliau miliki, beliau dapat
menyakinkan Abdullah bin Suhaim[94] untuk tidak mendukung dakwah yang diprakarsai oleh
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Oleh sebab itulah Sykeh Muhammad bin Abdul
Wahab mengkafirkan beliau (lihat: ulama Najd 4/ 365).
Abdullah bin Ahmad bin Suhaim (1175 H), seorang ulama
ahli fikih di daerah Mujma’ah yang terletak di kawasan Al Qushim. Beliau adalah
ahli fikih madzhab hambali yang bertugas sebagai qadli (hakim) di seluruh
kawasan Sadir. Sebenarnya beliau tidak terlalu getol menolak dakwah sekte
wahabi ini. Akan tetapi yang dipermasalahan berkeliarannya dalam memvonis kafir
orang yang tidak sefaham, sehingga pun beliau sangat menentang.
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Al Ahsai.
Beliau termasuk deretan guru Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Beliau juga
termasuk dalam deretan para penentang dakwah wahabi ini[95].
Dan masih banyak
lagi para ulama yang
menentang dakwah wahabi ini, baik yang sezaman dengan Syekh Muhammad seperti
yang sudah disebutkan di atas[1] ataupun para ulama setelahnya.
F. Neo-Khawarij dan
Nubuwwah
Paparan di atas adalah
sedikit gambaran sikap keberagamaan Syekh Ibnu Abdil Wahab dan para pengikutnya
yang kelihatan sangat ekstrim dan cenderung menyalahi konsensus dakwah jumhur
ulama. Dengan adanya sebuah sikap yang demikian ekstrim, maka tidak heran jika
para ulama sering menyebutnya sebagai neo al-Khawarij dalam
masalah takfir, dan neo al-Mujassimah wa al-Musyabbihah
dalam masalah akidah.
Kesimpulan bahwa
sebenarnya aliran wahabi ini merupakan neo al-Khawarij jauh hari sudah disinyalir oleh Syekh Sulaiman
bin Abdul Wahab dalam kitabnya “As Shawaiq Al Ilahiyyah Fi Raddi ‘Alal
Wahabiyyah”. Kesimpulan yang sama diambil oleh Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan dalam “Ad Durar As Saniyyah Fi Raddi ‘Alal Wahabiyyah”[97],
Imam As Shawi dalam tafsirnya[98].
Juga Ibnu ‘Abidin dalam hasyiyahnya[99],
serta Imam Abu Zahrah dalam Tarikhnya[100].
Tidak mau ketinggalan ulama ahlussunnah kontemporer juga semakin meramaikan
untuk ikut men stempel aliran wahabi ini dengan sebutan neo-khawarij, seperti
DR. Abdullah Umar Kamil yang menulis risalah kecil bertajuk “Al Khawarij Al
Judud”. Tidak mau ketinggalan Sayyid Muhammad Zaki Ibrahim juga menulis
risalah kecil berjudul “As Salafiyyah Al Mu’ashirah Ila Aina? Wa Man Hum
Ahlussunnah?”[101].
Dan masih banyak lagi.
Hal yang unik menggelitik
adalah bahwa di sana juga ada tuduhan bahwa Syekh Ibnu Abdil Wahab ini
sebenarnya menyimpan misi pengakuan dirinya sebagai nabi. Tuduhan ini bisa
dikategorikan menjadi dua kelompok; (1) orang-orang yang menuduh bahwa IAW
benar-benar mengaku sebagai nabi, dan (2) orang-orang yang mengatakan bahwa
gerak-gerik IAW baik berupa pendapat maupun gerakannya seakan-akan ia sedang
memposisikan dirinya layaknya seorang nabi. Kelompok pertama jelas tidak
berdasar bahwa bisa dikatakan sebagai Fitnah, karena IAW dengan
sangat jelas menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah penutup para nabi.
Dalam hal ini IAW berkata: “Dan aku beriman bahwa Nabi kita Muhammad saw.
adalah penutup para nabi dan para rasul. Tidaklah sah iman seorang hamba hingga
ia beriman kepada risalahnya dan bersaksi akan kenabiannya”[102].
Sedangkan pendapat kelompok kedua bisa dipertimbangkan karena memang nyatanya
dari berbagai pendapat seperti yang telah dipaparkan, seakan-akan IAW
memposisikan diri di tengah kaum muslimin layaknya posisi Nabi saw. di tengah
kaum musyrikin Quraisy dengan konsep takfir dan penyerupaannya
terhadap kaum muslimin di masanya dengan kaum musyrikin dimasa Rasulullah saw
yang harus diperangi.
G. Penutup
Tidak dapat dipungkiri
bahwasannya kewajiban melestarikan ajaran Islam adalah tugas setiap insan
muslim. Akan tetapi proses penyampaian ajaran itu harus melalui cara yang benar
dan sesuai dengan wasathiyyah (kemoderatan) Islam itu sendiri. Dalam
sejarah Islam klasik, tervonisnya sekte Khawarij bukan lantaran meninggalkan
ibadah. Akan tetapi justru mereka berlebihan (ekstrim) dalam memahami Islam itu
sendiri, sehingga kran toleransi dan kemoderatan Islam nyaris ditutup rapat.
Bahkan spirit takfir terdasyat dalam sejarah islam klasik diperankan oleh
aliran Khawarij ini.
Tentunya kita semua
mengatahui betapa ngerinya vonis sesat yang disematkan kepada kaum Khawarij.
Oleh sebab itu, para pengikut aliran wahabi seharusnya lebih kritis lagi dalam
melihat pemahaman-pemahaman ektrim yang terkandung di dalam literatur-literatur
wahabi, baik klasik maupun kontemporer. Demikian juga penulis tidak sepakat
dengan ektrimisme yang juga diperagakan oleh sebagian kalangan sunni sehingga
mengkafirkan aliran wahabi ini. Hal yang perlu kita yakini bersama bahwa Syekh
Muhammad bin Abdil Wahab berpendapat dan berperilaku sedemikian rupa tidak
lepas dari ijtihad beliau. Sepanjang pembacaan penulis, IAW tidak mempunyai
kepentingan politis dalam dakwahnya melainkan hanya ingin membebaskan umat ini
dari perbuatan yang ia anggap sebuah kesyirikan.
Kewajiban kita sebagai
generasi sekarang adalah belajar dari semangat IAW dalam menyerukan umat ini
untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman al-salaf al-shaleh.
Semangat ini tentunya harus terus menyala dalam sanubari setiap generasi
muslim. Namun hal itu jangan hanya berhenti pada tataran semangat, melainkan
harus dipahami dengan seksama dan merujuk kepada keterangan para ulama.
Demikian juga bagi para pengikut aliran wahabi ini seyogyanya tidak menutup
diri untuk lebih meluaskan bacaan sehingga bisa keluar dari kubangan fanatik
buta yang hal ini sangat dibenci oleh IAW itu sendiri. Taklid adalah sikap yang
paling diperangi oleh IAW, akan tetapi entah mengapa para pengikutnya justu
bertaqlid buta kepadanya. Bahkan para pengikutnya pun memberikan berbagai gelar
kepada IAW, seperti al-Imam dan syaikhul Islam. Lebih unik lagi, IAW mendapat
gelar yang belum pernah disandang oleh para ulama bahkan oleh para sahabat
sekalipun, yaitu Imam al-Tauhid. Penulis tidak mengetahui apakah gelar terakhir
itu juga pernah disandang oleh Nabi saw.. Tentunya hal ini bentuk ghuluww
kepada seorang ulama yang mana sikap ini begitu getol diperangi oleh IAW.
Karena keterbatasan
spaces, maka penulis cukupkan pembahasan tema yang sangat luas ini dalam
beberapa paragraf singkat di atas. Semoga pembahasan singkat ini dapat menjadi
bahan kajian serius, baik bagi orang-orang yang sedang berada dalam posisi
membela aliran wahabi maupun mereka yang menolak dakwah ini.
Wa al-Salamu ‘ala Manittaba’al
Huda..!!!
Allahumma ihdina
wahdihim bina waj’alna sababan limanihtadaa!!
{ والسلام على من اتبع الهدى }
اللهم
اهدنا واهدهم بنا واجعلنا سببا لمن اهتدى
اللهم
وفقنا لما تحبه وترضاه واجعلنا للمتقين إماما ،
اللهم
ربنا لا تؤاخذنا بما فعل السفهاء منا
اللهم لا
تسلط علينا بذنوبنا من لا يخافك ولا يرحمنا ،
سبحانك
لا علم لنا إلا ما علمتنا إنك أنت العليم الحكيم
حسبنا
الله ونعم الوكيل ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
[1] Istilah “Wahabi” ini digugat oleh para pengikut aliran wahabi kontemporer, yang sekarang lebih
dikenal dengan sebutan salafi. Berbagai alasan telah ditulis dan dikemukan oleh
para punggawa wahabi salafi kontemporer mengenai penisbatan gerakan dakwah ini
kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Sebenarnya, penolakan ini hanyalah merupakan
upaya pelarian agar madzhab mereka tidak terkesan berhenti pada sosok Muhammad
bin Abdul Wahab saja. Karena di beberapa kesempatan, mereka mengeklaim bahwa
dakwah mereka adalah dakwah Nabi saw. pun juga dakwah seluruh nabi hingga nabi
Adam a.s.. Jika penamaan “wahabi” ini berhasil mereka hapus dari ingatan kaum
muslimin, maka dengan mudah mereka akan mampu mentasbihkan diri sebagai
representasi yang paling absah dari generasi salaf, atau bahkan dari agama
Islam itu sendiri. Oleh karenanya, saat ini, dengan bermandikan keringat mereka
berupaya sekuat tenaga untuk mempropagandakan nama baru bagi kelompok mereka
dengan sebutan yang lebih elegan; salafi.
Dalam upaya menghapus nama
wahabi ini, para pengikut menyatakan bahwa dari segi penamaan saja sudah salah.
Orang yang mempelopori gerakan dakwah ini bernama Muhammad bukan Abdul Wahab,
mengapa penisbatannya wahabiyah dan bukannya malah muhammadiyah?. Tentunya
pernyataan dan pertanyaan semacam ini terkesan lucu dalam pandangan para
Thalibul Ilmi dan para ulama. Sebab dalam tradisi arab, penisbatan bukan kepada
nama asli pendiri sebuah madzhab itu sudah biasa. Seseorang dikatakan Syafi’i
ketika dia berkiblat pemahaman fikihnya kepada Imam Syafi’I, meskipun nama asli
beliau adalah Muhammad bin Idris. Begitu juga penisbatan seperti Hambali,
Hanafi, Asy’ari dll. Lebih lucu lagi, mereka mewanti-wanti kaum muslimin yang
menghina kelompok wahabi ini. Karena, menurut mereka wahabi adalah penisbatan
kepada “Al Wahhab” yang merupakan salah satu nama Allah swt.. Pernyataan yang
terlalu dipaksakan ini sungguh sangat menggelikan. Karena tidak satu pun kaum
muslimin bermaksud menisbatkan sekte yang lahir 3 abad silam kepada Dzat Yang
Maha Agung dan Mulia, Allah swt.. Bahkan logika semacam ini pun tidak pernah
dipakai oleh kelompok manapun selain wahabi ini. Madzhab adz Dzahiri yang
dipelopori oleh Daud adz Dzahiri tidak pernah mewanti-wanti lawan madzhabnya,
meskipun salah satu nama Allah adalah Adz Dzahir. Penolakan penisbatan ulama
wahabi kontemporer ini mengakibatkan pergantian nama dari wahabi ke salafi.
Oleh sebab itu, golongan salafi yang sedang menjamur sekarang ini, tidak lain
adalah generasi penerus dari gerakan dakwah wahabi yang sudah dikenal semenjak
kurang lebih 3 abad yang silam. Penggunaan istilah salafi ini telah mendapat
vonis bid’ah dari Al Allamah DR. Muhammad Said Ramadhan Al Buthi dalam kitab
beliau “As Salafiah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah Laa Madzhabun Islamiyyun”
(lihat hal: 221).
Sebenarnya kalau kita
lacak lebih jauh, penamaan aliran ini dengan nama “wahabi” sudah diterima
dengan bangga oleh para pengikut wahabi generasi awal. Bahkan Sulaiman bin
Sahman an Najdi salah satu pelopor kelompok ini menulis sebuah kitab dengan
judul “Al Hadiyyah As Saniyyah Wa At Tuhfah Al Wahabiyyah An Najdiyyah”,
judul kitab tersebut sudah sangat jelas menggunakan diksi atau istilah
wahabiyah. Hal ini juga diamini oleh para pengikut yang lainnya semisal
Muhammad bin Abdul Lathif, Hamid Al Faqihi, Muhammad Rasyid Ridlo, Abdullah Al
Qosimi, Sulaiman Ad Dakhil, Ahmad bin Hajar Abu Thami, Mas’ud An Nadawi,
Ibrahim bin Ubaid dan lainnya. Hanya saja, Hamid al Faqihi memberi tawaran
istilah yang menurutnya lebih pas untuk para pengikut dakwah Ibnu Abdil Wahab
ini, yaitu dengan sebutan “ad Dakwah al Muhammadiyah”. Tawaran ini pun diamini
oleh Shaleh Fauzan saat mengkritik Syekh Abu Zahrah yang menggunakan istilah
wahabi dan memasukkannya dalam daftar kelompok-kelompok baru (al Firaq al
Haditsah). Jadi dari segi penerimaan istilah wahabi ini telah terjadi perbedaan
presepsi antara generasi awal dan akhir. Akan tetapi kitab karangan Sulaiman
bin Sahman adalah satu bukti konkrit dan bantahan atas para pengikut dakwah
wahabi yang enggan untuk disebutk wahabi.
[7] Lihat: Da’awa Munaafi`iin, karya Abdul Aziz Muhammad
bin Ali al Abd al Lathif, hal: 5. Kitab ini merupakan disertasi doctoral di
Universitas Imam Muhammad ibn Sa’ud al Islamiah Riyadl. Kitab ini ditulis untuk
mencoba mengcounter permasalahan-permasalahan yang acap kali disematkan kepada
Muhammad dan para pengikutnya.
[8] Lihat: Daiyan Walaisa Nabiyyan, hal:
82. Dalam perkataannya ini jelas terdapat takfir kepada para ulama sebelum IAW.
Karena orang yang tidak mengetahui makna laa ilaha illah dan agama Islam sudah
pasti ia adalah orang kafir.
[9] Mengenai polemik masalah pengakuan
Ibnu Abdil Wahab menjadi nabi akan penulis bahas dalam sub pembahasan
tersendiri.
[15] Sejarawan wahabi yang bernama Ibnu Ghannam dalam tarikhnya menyebutkan ada sekitar
300 perang lebih yang terjadi. Di setiap perang tersebut Ibnu Ghannam berkata,
“Di tahun ini kaum muslimin memerangi kaum kafir”. Perlu dicatat bahwa itu
sebenarnya adalah perang antara kaum wahabi dengan kaum muslimin yang tidak
seideologi dengan mereka.
[17] Lihat: Da’aawa al Munaawi`iin, hal: 163. Komentar Ibnu
Afaliq itu kiranya tidak berlebihan mengingat dalam “Al Qawaaid Al Arba’ah”
Ibnu Abdil Wahab pernah menyatakan pada kaedah yang keempat, “Sesungguhnya kaum
musyrikin di zaman kita lebih parah kesyirikannya dibandingkan kaum musyrikin
terdahulu” (al Qawaaid Al Arba’ah: 47). Perlu dicatat bahwa yang ia maksud
dengan kaum musyrikin di zamannya itu adalah kaum muslimin yang tidak
seideologi dengannya.
[20] Ibid: 166-167. Pernyataan Syekh Sulaiman dan Syekh
Ustman tersebut merupakan “Ilzaam” atau konsekwensi logis dari berbagai
persyaratan njelimet yang disyaratkan oleh IAW untuk kriteria seorang
muslim dalam pandangannya. Karena tentunya IAW tidak mungkin mengatakan bahwa
rukun Islam ada enam.
[27] Ibid, hal: 84. Dalam komentarnya
Syekh Hasan menjelaskan bahwa Muhammad bin Fairuz adalah ulama pengikut madzhab
Hambali, dan dia banyak taklid kepada pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Qayyim. Hal ini juga diakui oleh IAW sendiri bahwa Ibnu Fairuz adalah
seorang ulama dari kalangan madzhab Hambali yang taqlid buta kepada Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Jika seorang ulama madzhab Hambali yang bertaklid
kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim saja tidak dapat dikatakan telah masuk
Islam, maka bagaimana dengan lainnya??. Bahkan ditempat yang lain IAW secara
terang-terangan memvonis Ibnu Fairuz bahwa dia telah kafir dengan kekafiran
besar yang membuatnya keluar dari agama Islam (Ad Durar As Sunniyah: 10/ 63).
[32] Ibid, hal: 124. Fenomena saling memvonis ahli bid’ah,
fasik, sesat, bahkan kafir, sekarang ini sedang panas-panasnya dalam intern
aliran wahabi. Dari sekian fenomena yang ada, nampaknya pemvonisan sesat dan
ahli bid’ah Rabi’ Madkhli terhadap Bakar Abu Zaid menjadi fenomena ternyaring
dalam wacana kewahabian. Persetruan keduanya terjadi akibat perbedaan presepsi
tentang menghukumi Sayyid Qutub. Bakar Abu Zaid cenderung membelanya, sedangkan
Rabi’ Madkhali dengan tanpa ampun harus memvonis Sayyid Qutub sesat. Bahkan
tidak tanggung-tanggung Bakar Abu Zaid yang membelanyapun harus menerima vonis
yang sama. Pemvonisan Rabi’ Madkhali terhadap Bakar Abu Zaid ini dapat dibaca
dalam kitab beliau yang berjudul “Al Haddul Fasil Bainal Haq Wal Bathil”.
Manhaj takfiri yang diperankan oleh Rabi’ Madkahli ini dapat respon balik dari
sesama wahabinya Shaleh bin Abdul Lathif An Najdi dalam risalah kecilnya yang
berjudul “Ar Raddul Jali ‘Ala Rabi’ Al Madkhali”. Begitu juga kasus yang
terjadi pada Syekh Abdullah bin Abdur Rahman Al Jibrin yang juga termasuk
pengikut aliran wahabi. Pasca beliau membela Hasan Al Banna, Sayyid Qutub dan
Abdur Rahman Abdul Khaliq serta mengkritik Rabi’ Al Madkhali, beliau mendapat
sebuah kritikan yang sangat pedas dari Syekh Abdullah bin Shafiq Adz Dzafiri
dalam bukunya yang bertajuk “Malhudzat Wa Tanbihat”. Buku ini diberi
pengantar oleh Syekh ‘Ubaid bin Abdullah Al Jabiri salah seorang mantan dosen
di Madinah University.
[33] Ini disimpulkan dari istilah yang
menyebar di kalangan umum. Sedangkan para pengikut Syekh Abdur Rahman Abdul
Khaliq di Kuwait, pengikut Syekh Ibnu Baz dan Syekh Ibnu Utsaimin tidak tertata
secara istansi atau kelompok tersendiri, mereka bisa diterima oleh semua
kalangan dan pengikut aliran wahabi lainnya.
[34] Ini bukan berarti sempalan yang lain
terbebas dari budaya takfir ini. Hanya saja budaya itu terlihat dengan jelas
dan sangat liar di sempalan Jamiyyun/ madkhaliyyun ini.
[35] Khusus mengenai vonis sesat terhadap Ibnu Hajar ini ada
sebuah buku kecil yang mencoba mengkritisi satu per satu kesalahan akidah Ibnu
Hajar. Buku ini diberi judul “Akhta’ Fathil Bari Fil Aqidah” (kesalahan-kesalahan
kitab Fathul Bari dari segi akidah). Buku ini disusun oleh Abu Yusuf bin Yahya
Al Marzuqi dari dua risalah pelopor wahabi Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ad
Duwaisy dan Abdullah bin Sa’di Al Ghamidi Al ‘Abdali. Juga ditambahkan komentar
dua pelopor wahabi lainnya Abdul Aziz bin Baz dan Muhibbuddin Al Khathib. Pada
risalah pertama tertera sebuah statemen takfir terhadap Ibnu Hajar yang
berbunyi: “Al Akhtha’ Al Asasiyah Fil Aqidah Wa Tauhidil Uluhiyyah Min Kitab
Fathil Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari” (Kesalahan-kesalahan prinsip dalam
hal akidah dan tauhid uluhiyah dari kitab Fathul Bari syarah Shahih Bukhari)
[lihat: Akhtha, hal: 3]. Sudah jamak diketahui bahwa dalam kredo bangunan
ideologi wahabi akidah dibagi menjadi 3; rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa
sifat. Orang kafir Quraisy dalam pandangan mereka mempunyai atau percaya dengan
akidah rububiyah (percaya Allah sebagai Tuhan), namun mengingkari akidah
uluhiyyah (menyembah Allah) dan asma’ wa sifat (mengimani nama dan sifat
Allah). Dari kredo dasar ideologi ini berarti jika Ibnu Hajar sudah salah pada
dasar-dasar akidah uluhiyyah, maka dapat dikatakan beliau tidak ada bedanya
dengan orang-orang kafir Quraisy di zaman Nabi Saw. Dan hal ini jelas merupakan
pangkafiran terhadap Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani.
[39] Dia adalah salah seorang alumni Syekh Muqbil bin Hadi Al
Wadi’i Yaman. Dia belajar selama 6 tahun kepada Syekh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
hingga Syekh Muqbil meninggal dunia.
[40] Kami ambil nukilan ini dari buku
“siapa teroris? Siapa khawarij?” hal: 168, yang mana sang penulis buku tersebut
langsung menukil dari buku aslinya “Mereka Adalah Teroris” hal: 422.
[41] Perlu penulis sedikit informasikan
di sini bahwa syarah akidah thahawiyah karya Ibnu Abil ‘Izz ini telah banyak
mereduksi isi dari matan akidah thahawiyah itu sendiri. Akidah Thahawiyah
adalah akidah yang sangat representatif dalam menjelaskan akidah salaf atau
ahlussunnah wal jama’ah. Hal ini telah disepakati oleh para ulama ahlussunnah
wal jama’ah. Namun terkhusus syarahnya yang dikarang Ibnu Abil ‘Izz tersebut
para ulama Ahlussunnah tidak sepakat, bahkan membantahnya.
[42] Biasanya dalam menyeret orang-orang
yang bertawassul untuk disamakan dengan kaum kafir quraisy, kalangan wahabi
menyetir dan mempelintir ayat yang berbunyi “Mâ Na’buduhum Illa Li
yuqarribunâ Ilallahi Zulfâ”. Padahal di ayat tersebut sudah sangat jelas,
bahwa orang-orang kafir quraisy itu bukan hanya bertawassul, akan tetapi sudah
berikrar menyembah (na’buduhum) patung-patung tersebut. Sedangkan kaum muslimin
dalam bertawassul sama sekali tidak menyembah Nabi atau orang-orang shaleh yang
dibuat tawassul. Dan perbuatan tawassul mempunyai landasan syar’I yang kuat
sebagaimana banyak dijelaskan oleh para ulama salaf dan khalaf. Untuk lebih
jelas mengenai hal ini dapat dirujuk kitab-kitab tafsir, seperti tafsir Al
Quran Al Adzim karya Al Hafidz Ibnu katsir (1/ 508- 509), Al Jami’ Li Ahkamil
Quran karya Al Imam Al Qurthubi (5/ 232- 233) tepatnya dalam mentafsiri ayat ke
64 dari surat An Nisa’. Di sana disebutkan kisah tentang seorang baduwi yang
datang ke makam Rasul dan bertawassul dengan beliau. Begitu juga kisah tawassul
seorang sahabat yang bernama Bilal bin Harist Al Muzni pada saat terjadi
paceklik di masa Umar (Fathul Bari: 2/ 704), (Al Bidayah Wa An Nihayah: 7/ 86-
87), dan masih banyak lagi dalil-dalil tentang tawassul ini. Namun menurut
ulama kontemporer semisal Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki dan Syekh Yusuf Al
Qaradlawi, sebenarnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab tidak mengingkari beberapa
permasalahan yang selama ini dituduhkan kepadanya, seperti pengingkaran
terhadap tawassul. Dalam kitab “Mafahim Yajibu an Tushahhah” Sayyid
Muhammad menukil sebuah pernyataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa dia
tidak mengingkari tawassul. Teks serupa juga dinukil oleh Syekh Yusuf Al
Qardlawi dalam fushulnya (lih: 265) . Akan tetapi, seorang ulama asal Saudi
Arabiyah yang bernama Syekh Hasan bin Farhan mencoba meneliti lebih jauh
tentang butir-butir pemikiran pelopor wahabi tersebut. Di akhir pembahasannya
beliau menyatakan bahwa telah terjadi banyak “tanaqudhot” (kontradiksi)
dalam alur pemikiran dan keputusan sikap keagamaan Syekh Muhammad bin Abdul
Wahab. Kontradiksi tersebut kembali kepada keempat kemungkinan sebagaimana yang
telah penulis sebutkan sebelumnya.
[44] Penulis kurang sepakat dengan
istilah “isbat” (menetapkan) ini. Karena hal ini mengesankan bahwa kalangan
ahlussunnah yang memakai metode takwil maupun tafwidl tidak menetapkan
sifat-sifat khabariyah (asma` sifat) tersebut. Sejati ketiga metode tersebut
sama-sama menetapkan, akan tetapi cara penetapannya saja yang berbeda. Metode
isbat menetapkan sifat dengan makna zhahir lughawi, atau makna yang sesuai
dengan kamus. Sedangkan metode takwil menetapkan sifat dengan makna majazi, dan
metode tafwidl menetapkan sifat dengan makna yang hanya diketahui oleh Allah.
[48] Lihat: Al Asma’ Wa Sifat, hal: 446. Beliau (Imam Al
Baihaqi) menukil klasifikasi itu dari Imam Al Khattabi dalam kitab Ma’alim
Sunannya.
[60] Penisbatan kepada Jahm bin Shafwan, pimpinan madzhab
Jahmiyah yang mengatakan Quran itu adalah mahkluk.
[61] Lihat: Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi (6/ 383), Majmu’
Syarah Muhadzdzab Imam Nawawi (lihat juz 1 bab aqsâm ilmi asy syar’i).
[64] Lihat: Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi (6/ 383).
Sebelum Imam Nawawi ternyata jauh hari Ibnu Abdil Bar salah satu ahli hadis
terkemuka dalam madzhab Maliki menukil riwayat ini dalam kitabnya At Tamhid (7/
143). Dan hal ini juga dinukil oleh Imam Adz Dzahabi dalam siyar (8/ 105).
[65] Lihat: Al Bidayah Wa An Nihayah (10/
354). Imam Al Baihaqi mengomentari sanad riwayat ini dengan perkataan “Lâ
ghubâra ‘alaih” (tidak ada masalah).
[68] Perlu diketahui dalam akidah ahlussunnah wal jama’ah ada
sebuah konsensus bahwa Allah Swt tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
[71] Lihat: Majmu’atul Fatawa Ibni
Taimiyyah (6/ 343). Para pengikut Wahabi kontemporer juga gemar memvonis para
ulama ahlussunnah dengan istilah kaum Jahmiyyah, Mu’aththilah dll. Hal ini
memang mereka warisi dari moyang mereka; Ibnu Taimiyyah, yang baru muncul di
abad ke- 7 H jauh setelah Imam At Tirmidzi.
[94] Perlu menjadi catatan bahwa sebelum
Ibnu Suhaim berada dalam barisan para ulama yang menentang dakwah wahabi,
beliau termasuk para pendukung setia dakwah tersebut.
[96] Selain nama-nama yang sudah kami
sebutkan ada deretan nama lain seperti Muhammad bin Abdullah bin Fairuz Al
Ahsai (1216 H), Muhammad bin Ali bin Salum, ‘Utsman bin Mansur An Nashiri,
Muhammad bin Sulaiman Al Kurdi, Utsman bin Sanad Al Bashri, Mirbad bin Ahmad At
Tamimi, Saif bin Ahmad Al ‘Athiqi, Shaleh bin Abdullah Ash Shâig, Ahmad bin Ali
Al Qabbani, Abdullah bin Dawud Az Zubairi, Alawi bin Ahmad Al Haddad Al
Hadrami, Umar bin Qasim bin Mahjub At Tunisi, Muhammad bin Abdullah bin Kairan
Al Magribi, Muhammad bin Abdullah bin Humaid, Abdul Aziz bin Abdur Rahman bin
‘Adwan, Hasan bin Umar Asy Syiththi Ad Dimasyqi dll. (lihat: ibid).
[98] Ini sebagaimana yang dinukil oleh
Syekh Abdullah Harari dalam maqalatnya. Lihat: Al Maqalat As Sunniyyah, hal:
58.
_________________
Daftar Pustaka
1- Al Quran Al Karim
2- Tafsir At Thabari, karya Imam At Thabari, cet.
Darul Fikr. Beirut- Lebanon.
3- Tafsir Al Quran Al Adzim, karya Al Hafidz Ibnu
Katsir, cet. Muassasatul Mukhtar. Kairo- Mesir.
4- Al Jami’ Li Ahkamil Quran, karya Imam Al
Qurthubi, cet. Al Maktabah At Taufiqiyah. Kairo- Mesir.
5- Al Burhan Fi ‘Ulumil Quran, karya Imam Az
Zarkasyi, cet. Darul Hadis. Kairo- Mesir.
6- Al Itqan Fi ‘Ulumil Quran, karya Al Imam Al
Hafidz Jalaluddin As Suyuthi, cet. Maktabah Darut Turast. Kairo- Mesir.
7- Manahilul ‘Irfan Fi ‘Ulumil Quran, karya Syekh
Muhammad Abdul Adzim Az Zurqani, cet. Darul Hadis. Kairo- Mesir.
8- Syarah Shahih Muslim, karya Imam Nawawi, cet.
Darul Manar. Kairo- Mesir.
9- An Nihayah Fi Ghoribil Hadis Wal Atsar, karya
Imam Ibnu Atsir. Cet Daru Ihyâil Kutub Al ‘Arabiyah Isa Baby Halaby.
10- Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al
Qalani, cet. Dar Misr Lit Thiba’ah. Kairo- Mesir.
11- Shahih Bukhari Syarah Karmani, Karya Imam Karmani. Cet Daru Ihyâ Turâst
Al ‘Arabi, Beirut- Libanon.
12- ‘Umdatul Qori Syarah Shahih Bukhari, Karya Imam Al Aini. Cet Darul
Fikr, Beirut- Libanon.
13- Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi, karya Imam Al Mubarak Furi,
cet. Darul Fikr. Beirut- Lebanon.
14- Majmu’ Syarah Muhadzdzab, karya Imam Nawawi, cet. Darul Kutub Al
Ilmiah. Beirut- Lebanon.
15- Majmu’atul Fatawa Ibn Taimiyyah, takhrij ‘Amir Jazzâr dan Anwar Baz,
cet. Darul Wafa. Kairo- Mesir.
16- Al Muwafaqat Fi Usulisy Syari’ah, karya Al Imam Asy Syathibi, cet. Al
Maktabah At Taufiqiyyah. Kairo- Mesir.
17- Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam, karya Imam Izz bin Abdus Salam, cet.
Darul Bayan El Araby, Kairo- Mesir.
18- Tahdibul Asma’ Wal Lughât, karya Imam Nawawi. Cet Darul Kutub Al
‘Ilmiah, Beirut- Libanon.
19- Muqaddimah Ibni Khaldun, karya Abdurrahman ibnu Khaldun, cet. Darul
Fajr. Kairo- Mesir.
20- Siyar A’lam Nubala, karya Al Imam Adz Dzahabi, cet. Al Muassasah Ar
Risalah.
21- Al Bidayah Wa An Nihayah, karya Al Hafidz Ibnu Katsir, cet. Darul
Hadis. Kairo- Mesir.
22- Tarikh Ali Sa’ud, karya Nashir as Sa’dy, cet.______________.
23- Tarikh Najd, karya Ibnu Ghannam, cet. Dar Syuruq. Beirut. Cetakan IV
1994.
24- Ad Daulah Al Utsmaniyyah; Awaamil an Nuhuud Wa Asbaab as Suquuth, karya
DR. Ali Muhammad Muhammad Ash Shalaby, cet. Maktabah Bait as Salam. Riyadl-
Saudi Arabiah.
25- Tarikh Al Madzahib Al Islamiyyah, karya Imam Abu Zahrah, cet. Darul
Fikr Arabi. Kairo- Mesir.
26- Tabyin Kadzbil Muftari Fima Nusiba Ila Imam Abil Hasan Al Asya’ri, cet.
Darul Fikr. Beirut- Lebanon.
27- Lum’atul I’tiqad Al Hadi Ila Sabilir Rasyad, karya Imam Ibnu Qudamah Al
Maqdisi, cet. Maktabah Al Ilmi. Kairo- Mesir.
28- Al I’tiqôd wal Hidayah Ila Sabîlir
Rasyâd ‘Ala Madzhabis Salaf Wa Ashâbil Hadist, karya Imam Al Baihaqi cet. Dârel
Kitab el ‘Arabi.
29- Majmu’ Rasail Imam Al Ghozali,
cet. Darul Fikr, Beirut- Libanon. Cetakan pertama 2006.
30- Iljâmul ‘Awwam ‘An ‘Ilmil Kalâm. Karya Imam Al Ghozali. Cet. Darul
Haram Li At Turast. Kairo- Mesir. Cetakan pertama mei 2004.
31- Kitâb al Arba’in Fi Usuluddin, karya Imam Fakhruddin Ar Rozi cet. Dârul
Jîl- Beirut- Lebanon.
32- Ma’alim Fi Usuluddin, karya Imam Fakhruddin Ar Rozi cet. Al Maktabah al
Azhariyah Lit Turâst. Kairo- Mesir
33- Asâsus Taqdîs, karya Imam Fakhruddin Ar Rozi cet. Dârul Jîl- Beirut-
Lebanon.
34- Al Asma’ Wa Sifat, karya Al Imam Al Hafidz Abu Bakr Al Baihaqi, cet.
Darul Hadis. Kairo- Mesir.
35- Al I’tisham, karya Imam Asy Syatibi, cet. Darul Bayan. Kairo- Mesir.
36- ‘Inayatul Malik Abdul Aziz Bil Aqidah As Salafiah Wa Difa’I ‘Anha,
karya DR. Muhammad bin Abdurahman Al Khumayyis, cet.___________
37- Kasyfus Syubhât, karya Muhammad bin Abdul Wahab, cet. Darus Salam.
Kairo- Mesir.
38- As Shahwah Al Islamiyah Minal Murahaqah Ilar Rusyd, karya DR. Yusuf Al
Qaradhawi, cet. Darus Syuruq. Kairo- Mesir.
39- Akhthau Fathil Bari Fil Aqidah, karya Abu Yusuf ibn Yahya Al Marzuqi,
cet. Maktabah Asadus Sunnah. Kairo- Mesir.
40- Al Haddul Fasil Bainal Haq Wal Bathil, karya Rabi’ bin Hadi Al
Madkhali, cet _________.
41- Ar Raddul Jali ‘Ala Rabi’ Al Madkhali, karya Shaleh Abdul Lathif An
Najdi, cet. Darul Haramain. Kairo-Mesir.
42- Malhudzat Wa Tanbihat, karya Abdullah bin Shalfiq Adz Dzafiri, cet.
Darul Minhaj. Kairo- Mesir.
43- As Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah Lâ Madzhabun Islamiyyun,
karya DR. Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, cet. Darul Fikr. Beirut- Lebanon.
44- Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, karya Abduh Zulfidar Akaha, cet.
Pustaka Al Kautsar. Jakarta- Indonesia.
45- Al Maqâlât As Sunniyyah, karya Syekh Abdullah Al Harari, cet. Darul
Masyari’ (2004).
46- Husnul Maqshid Fi ‘Amalil Maulid, karya Imam Suyuthi. Cet. Darul Kutub
Al ‘Ilmiah, Beirut- Libanon.
47- As Showaiq Al Ilahiyyah Fi Raddi ‘Alal Wahabiah, karya Syekh Sulaiman
bin Abdul Wahab, cet. ___________________
48- Al Maqâlât Al Wafiyyah, karya Syekh Hasan Khazbik, cet._______________
49- Fushulun Fil Aqidah Baina Salaf Wal Khalaf, karya DR. Yusuf Al
Qaradlawi, cet. Maktabah Wahbah. Kairo- Mesir.
50- Daiyah Walaisa Nabiyyan, karya Syekh Hasan bin Farhan, cet. Dar er
Rozi. Aman- Yordania.
51- Ad Durar As Sunniyyah Fi Raddi ‘Alal Wahabiyyah, karya Sayyid Ahmad bin
Sayyid Zaini Dahlan, cet. Darul Jawami’ul Kalim. Kairo- Mesir.
52- As Salafiyyah Al Mu’ashirah Ila Aina? Wa Man Hum Ahlussunnah?, karya
Sayyid Muhammad Zaki Ibrahim,cet. Muassasah Ihyaut Turast As Shufi. Kairo-
Mesir.
53- Raddu Al Muhtar ‘Ala Ad Durri Al Mukhtar, karya Imam Ibnu ‘Abidin, cet.
Maktabah Musthafa Al Babi Al Halaby. Kairo- Mesir.
54- Fadhaihul Wahabiyyah, karya Syekh Abul Fadlail Abdul Ghani Ar Rifa’I,
cet. Darul Masyari’. Yordania.
55- Da’aawa al Munaawi`iin, karya Abdul Aziz Muhammad bin Ali al Abd al
Lathif, cet. Dar Theebah. Riyadl.
Bin Baz Kurang Ajar Sama Jagoan
Bid’ah “Ibnu Taimiyah”
Nah….
sekarang coba kita bandingkan fatwa syehikul bid’ah diatas dengan fatwa
cecunguk-cecunguk wahabi yang biasanya bermata satu alias buta, semoga mereka
bener-bener dibutakan sama Allah swt ila yaumilqiyamah. Abdul Aziz bin
Baz mengatakan bahwa ziarah kubur kanjeng nabi saw dan para ulama itu mustahab
hukumnya akan tetapi jangan diniatkan untuk berziarah sebab kalau bepergian itu
diniatkan untuk ziarah maka hukumnya adalah bid’ah. Disini bung bin Baz itu
berkilah dengan menukil sabda kanjeng nabi saw: “Ziarahlah kalian ke
tempat-tempat kubur sehingga engkau teringat akan hari akhir”. “Akan tetapi
[lanjutan ini adalah perkataan bin Baz] bila diniatkan untuk semata-mata ziarah
kubur maka hukumnya tidak boleh”. Lihat kitab Majmu’u Fatawa bin Baz, Juz
2, Halaman 754 dan 755.
Memang
ulama wahabi alias ulama jamaah takfiriyah ini benar-benar kekurangan akal
serta kehilangan penalaran religius dan maunya menang sendiri. Tapi… kalau soal
ngecap dan setempel TBC sama kelompok lain wah…. mereka semua berlomba lomba
asah pedang. Tapi kalau terlanjur mengeluarkan fatwa sementara tidak sesuai
dengan fatwa guru-guru pendahulunya mereka berkilah dan otak yang isinya
parutan singkong warna putih itu sedikit digerakkan lalu berkelit. Loh kok bisa
… bisa aja dunk…
Mau
tahu… ini buktinya.
Dalam
kitab Minhaju As-sunnah….. kalau saya seh… nyebutnya bukan kitab tapi novel
semacam novel karangan Salman Rusdi gitu loh…Ibnu Tai Miyah mengeluarkan fatwa
yang bunyinya demikian: “Semua hadist yang berasal dari Kanjeng Nabi saw
tentang ziarah kubur nabi adalah dhoif [lemah] dan ja’li [bikinan]”. Lihat
novel Minhaju As-sunnah, Juz 2, Halaman 441.
Sementara
Asqalani yang menukil dari Ibnu Taimiyah menceritakan bahwa tidak ada alasan
sama sekali untuk berziarah ke makam para wali dan ulama meskipun ziarah ke
makam kanjeng nabi saw sekalipun. Dan Ibnu Taimiyah secara mutlaq telah
mengharamkan perbuatan itu. Apakah itu dilakukan untuk tujuan ziarah ataupun
ziarah itu hanya sekedar sampingan semisal untuk haji dan kita berkeinginan
untuk ziarah ke makam kanjeng nabi saw. Lihat kitab Irsyadu As-sari, Juz 2,
Halaman 329.
Lebih
jelas lagi, coba kita lihat kitab atau enaknya novel aja deh, biar seger …
karangan Ibnu Taimiyah yang berjudul Attawassul wal Wasilah, Halaman 72. Jagoan
bid’ah ini berfatwa buat warga wahabiyun alias jamaah takfiriyah dan berkata
bahwa: “Semua Hadist-hadist yang berkenaan dengan ziarah kubur kanjeng nabi
saw adalah dhoif dan tidak bisa dijadikan pegangan. Oleh karena itu para perawi
hadist-hadist dan sunan sahih sama sekali tidak ada yang menukil hadist tentang
halalnya ziarah kubur kanjeng nabi saw. Kalaupun ada yang menukil maka yang dia
nukiladalah hadist dhoif”. Lihat kitab Attawassul wal Wasilah, Halaman 72.
Sementara
di lain tempat dalam novel yang sama, syeh Ibnu Taimiyah yang katanya cerdas
namun kebliger itu juga berkata: “Semua hadist yang berkenaan dengan ziarah
kubur kanjeng nabi saw adalah lemah bahkan bohong semata”. Lihat kitab
Attawassul wal Wasilah, Halaman 156.
Nah….
sekarang coba kita bandingkan fatwa syehikul bid’ah diatas dengan fatwa
cecunguk-cecunguk wahabi yang biasanya bermata satu alias buta, semoga mereka
bener-bener dibutakan sama Allah swt ila yaumilqiyamah. Abdul Aziz bin
Baz mengatakan bahwa ziarah kubur kanjeng nabi saw dan para ulama itu mustahab
hukumnya akan tetapi jangan diniatkan untuk berziarah sebab kalau bepergian itu
diniatkan untuk ziarah maka hukumnya adalah bid’ah. Disini bung bin Baz itu
berkilah dengan menukil sabda kanjeng nabi saw: “Ziarahlah kalian ke
tempat-tempat kubur sehingga engkau teringat akan hari akhir”. “Akan tetapi
[lanjutan ini adalah perkataan bin Baz] bila diniatkan untuk semata-mata ziarah
kubur maka hukumnya tidak boleh”. Lihat kitab Majmu’u Fatawa bin Baz, Juz
2, Halaman 754 dan 755.
Begitu
pula dari kumpulan fatwa-fatwa wahabi yang dikenal dengan nama Allajnah
Addaimah Lilbuhust Alalamiyah wal Ifta, Nomor Fatwa 423, juga mengeluarkan
fatwa yang sama.
Demikinlah
dagelan tidak lucu itu dipamerkan ke khalayak berakal, satu sisi si Jagoan
Bid’ah secara mutlak mengharamkan ziarah kubur dan dengan alasan apapun ziarah
kubur adalah bid’ah hukumnya, sementara hadist kanjeng nabi memperbolehkan
ziarah kubur sebagaimana yang dinukil oleh bin Baz diatas. Lalu bin Baz dengan
malu-malu mempelintir supaya tidak bertentangan dengan hadist kanjeng nabi dan
tidak dianggap sebagai ahli bid’ah oleh Ibnu Taimyah cs maka, dia pilih jalan
tengah, yaitu mustahab untuk hadist kanjeng nabi saw dan tidak boleh niat
ziarah kubur untuk fatwa syehikhul bid’ah. Ajib bin Gharib…… berfikir dung
wahabi/salafi yang mengaku ahlu sunnah wal jama’ah.[]